Tuesday, May 13, 2014

Komedi, Charlie Chaplin, dan Simbolisasi dalam Kostum dan Filmnya



Komedi, tentu bukan hal asing bagi telinga maupun penglihatan kita. Karena hampir semua stasiun televisi, tidak hanya di indonesia tapi juga di seluruh dunia mempunyai program khusus untuk acara-acara komedi. Tapi sebelumnya, apa sih sebenarnya Komedi, itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, "komedi adalah sandiwara ringan yang penuh dengan kelucuan meskipun kadang-kadang kelucuan itu bersifat menyindir dan berakhir dengan bahagia". Walaupun komedi hanya berupa sandiwara ringan, tapi komedi bisa menjadi penting, digemari dan melegenda karena unsur-unsur menghiburnya merupakan hal yang dibutuhkan masyarakat saat mereka sedang merasa suntuk dan ingin melepas penat. Karena komedi merupakan gaya hidup yang dijalani oleh seseorang, maka komedi juga tergolong sebagai budaya. 
Essay ini akan membahas tentang simbolisasi dari kostum seorang komedian yang sangat tekenal pada tahun 1930an lewat silent movie atau film bisunya.
Saat membicarakan tentang komedi, bagaimana mungkin kita melewatkan Charlie Chaplin. Sir Charles Spencer ‘Charlie’ Chaplin (1889-1977) adalah aktor, sutradara, penulis, dan komposer asal Inggris, tapi kemudian ia pindah ke Amerika dan menjadi komedian disana. Beberapa film yang ia bintangi adalah The Face on the Barroom Floor (1914), The Vagabond (1916), Limelight (1952), Behind the Screen (1916), The Immigrant (1917), The Kid (1921), A Woman of Paris (1923), The Gold Rush (1926), City Lights (1931), Modern Times (1936) dan The Great Dictator (1940) (Ward: 2009).
Menurut wikipedia (2013) Chaplin lahir dan tumbuh di London, ia melalui masa kecilnya dalam kesulitan dan kemiskinan pada Victorian era (Periode saat Ratu Victoria menjabat sebagai ratu Inggris). Ayahnya adalah seorang pemabuk dan ibunya menderita kelainan mental. Chaplin memulai karirnya dari saat ia masih belia, ia melakukan pertunjukan musik keliling dan akhirnya menjadi aktor dan komedian. Kemunculannya dalam film pertama kali adalah pada tahun 1914. Kemudian ia mengembangkannya dan akhirnya dapat membuatnya sangat terkenal dengan persona atau kepribadian ‘gelandangan’ yang selalu ia mainkan. 
Hampir semua filmnya adalah merupakan hasil karyanya sendiri. Charlie Chaplin menulis alurnya, mengkomposisi musiknya, menyutradarainya, dan lain sebagainya. Chaplin selalu membuat film komedinya tidak hanya menghibur, tapi juga penuh makna dan menggambarkan apa yang terjadi pada kehidupan nyata pada masa itu. Sehingga, film-film itu tidak hanya menjadi hiburan belaka, tetapi juga menjadi sebuah objek dalam berbagai macam penelitian. Hal ini membuatnya menjadi sebuah fenomena budaya populer yang mempunyai cita rasa budaya tinggi.
Comedi yang Chaplin ciptakan tentu dimaksudkan untuk menarik perhatian penonton sehingga dapat menghasilkan uang, karena itulah komedinya merupakan bagian dari budaya populer. Karena, budaya populer menurut Macdonald dalam Henrie (2004) adalah budaya yang dihasilkan bukan untuk para pengamat seni maupun komunitas rakyat tertentu, tetapi untuk pasar. Jadi, budaya populer tumbuh bersama ekonomi pasar dan budaya yang dibuat untuk menghasilkan uang dengan menarik perhatian massa yang banyak. Walaupun demikian, budaya pop terkadang juga memiliki kriteria sebagai budaya tinggi karena hal-hal tertentu seperti mengandung nilai-nilai moral, dikenang, dibuat menjadi kajian-kajian ilmiah, dan menjadi inspirasi atau rujukan untuk perkembangan selanjutnya. 
Selain mengamatinya dari sisi budaya, essay ini juga akan membahas Chaplin dan filmnya mengunakan teori strukturalisme yaitu berupa pengamatan berbagai simbol yang disajikan dalam karakter Chaplin dalam film komedinya. Dengan menggunakan teori T.S Eliot mengenai semiotika, kita dapat megkaji simbol yang sangat khas yang ditunjukan oleh karakter Chaplin dari pakaiannya. 
Jadi, simbol apa saja sih yang ada dalam Kostum dan Film Chaplin?
Apa yang kita ingat tentang Charlie Chaplin tentu jasnya yang terlalu sempit sehingga membuat bahunya terlihat kecil, sepatu dan celananya yang kedodoran, topi bowlerlnya yang kekecilan dan tongkat yang selalu ia bawa kemana-mana. Saat melihatnya, orang awam mungkin hanya akan menyimpulkan bahwa itu hanyalah kostum agar ia terlihat lucu. Tapi benarkah itu? Tentu saja tidak, kostum itu sebenarnya menunjukkan arti yang lebih dalam selain pakaian seorang komedian. 
Kita mulai dari jasnya, Chaplin selalu mengenakan jas yang terlalu sempit sehingga bahunya yang kecil terlihat makin menonjol. Ini menunjukkan sebuah karakter yang jauh dari kata ideal. Pada masa itu di Amerika, lelaki ideal adalah lelaki yang berdada bidang dan berbahu lebar untuk menunjukkan ke kemaskulinannya. Penampilannya menunjukkan hal yang dari prinsip berkebalikan dari kategori maskulin di Amerika. Pria-pria lain dimasanya pasti akan menggunakan jas yang pas, tidak terlalu besar dan tidak terlalu sempit tapi selalu menegaskan dan menonjolkan bahunya yang lebar.
Selanjutnya adalah tentang topi bowler kecil, sepatu dan celana panjang yang kedodoran. Topi bowler kecil, sepatu dan celana panjang yang kedodoran sebenarnya merupakan style atau gaya berpakaian badut yang ada pada kelompok-kelompok teater masa itu. Tentu saja pakaian ini menunjukkan bahwa karakter yang ia mainkan adalah karakter yang menimbulkan tawa bagi yang melihatnya. Sangat konyol kan melihat orang yang berperawakan kecil menggunakan pakaian yang terlalu besar untuknya.  Melihat seseorang dalam kostum seperti itu tentu akan mengundang tawa dan membuatnya terlihat aneh. Dalam film the kid, ia bahkan dipanggil dengan kata “Awkward ass” atau si kikuk yang payah (Halperin: 2011). 
Terakhir adalah tongkat jalannya yang ia kenakan. Pribadi yang ia mainkan dalam setiap film adalah sebagai gelandangan kecil; ia selalu berperan menjadi orang miskin. Tapi tongkatnya membuat Chaplin terlihat seperti  orang kaya yang agak ketinggalan jaman. Walaupun ia terlihat seperti gelandangan, tetapi tingkah lakunya sering terlihat lebih sopan menunjukkan bahwa ia merupakan anggota komunitas kelas atas. Tentu ini menimbulkan keanehan tersendiri. Dalam satu karakter, kita dapat melihat berbagai macam subkarakter yang disimbolkan melalui kostum yang ia kenakan.
Selain kostumnya yang menyimbolkan banyak hal, adegan-adagan yang ia mainkan juga sebenarnya menyimbolkan berbagai macam hal seperti dalam film Modern Times. Disana ada adegan dimana Chaplin berusaha mencari nafkah untuk menyenangkan seorang gadis yatim piatu yang menginginkan sebuah rumah yang tenang dan indah. Dalam film itu, Chaplin menggambarkan mimpi akan rumah impiannya dengan sangat indah. Adegan itu sebenarnya menyimbolkan American dream atau mimpi orang Amerika pada saat itu yang menginginkan rumah yang aman, nyaman, dan indah.
Dari penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa komedi Charlie Chaplin adalah merupakan fenomena budaya populer yang memilki cita rasa tinggi. Karena filmnya tidak hanya menghibur, tetapi juga penuh makna dan simbol.

Referensi
Halperin, Amanda. 2011. Charlie Chaplin: The Tragic Comedian. Web. Cited at March 28, 2013. http://www.w3.org/1999/xhtml 
Henrie, Mark C. 2004. Culture: High, Low, Middlebrow, and Popular (A journal). PDF unprinted.
Ward, Richard. 2009. Even a Tramp Can Dream: An Examination of the Clash Between “High Art” and “Low Art” in the Films of Charlie Chaplin (A journal). University of South Alabama. PDF Unprinted.
Wikipedia Foundation. 2013. Charlie Chaplin. Web. Cited at March 26, 2013. http://en.wikipedia.org/wiki/

1 comment: