Wednesday, May 21, 2014

A Normal Human Thing


Menatap balik hidup saya selama dua puluh tahun ini rasanya membosankan sekali. Sepertinya tak ada yang bisa dibanggakan sama sekali. Bayangkan saja, selama dua puluh tahun hidup di dunia, belum pernah sekali pun saya dapat piala, belum pernah sama sekali jabat tangan dengan orang penting, belum pernah sama sekali pergi keluar negeri atau keluar kota sebagai utusan sekolah atau kampus, belum pernah juga nyanyi di depan banyak orang pakai gitar atau piano (menurut saya itu keren buanget, sudah membayangkan bisa seperti itu dari zaman SMP tapi nggak pernah kesampaian karena saya nggak bisa nyanyi, apalagi main gitar). Sekali-kalinya keluar daerah ya hanya buat main ke rumah keluarga atau jalan-jalan sama teman dan study tour dulu sama masih SMA. Aduh duh, hidup kok datar sekali ya. Padahal teman SMP saya ada yang sudah bolak balik keluar negeri, teman SMA saya... sepertinya belum ada, dan teman kuliah saya juga sudah pada bolak balik keluar negeri (walaupun pol-polnya cuma di Malaysia, Singapura, dan Thailand, tapi kan tetap saja luar negeri ha..ha..ha..). Sebaliknya, saya, pulau Jawa saja belum semuanya ke-injak. Tak apa lah, mungkin belum rezeki, lagian dipikir-pikir, kalau ke luar negeri, ngapain ya di sana? Apa iya cuma foto-foto dan cari gantungan kunci buat oleh-oleh.

Friday, May 16, 2014

Dracula Vs. Vampire (Perbedaan Dacula dan Vampir)

Dracula dan Vampir adalah makhluk yang sama-sama berasal dari manusia mati yang darahnya teraliri venom vampir. Mereka sama-sama makhluk yang disebut sebagai Undead (yang tidak mati). Jadi, aslinya, vampir dan dracula itu sama atau beda? Well, mudahnya gini, Dracula itu ya vampir, tapi vampir belum tentu Dracula. Tapi, lebih tepatnya, mereka itu agak berbeda. Bukan berbeda dalam hal bentuk, tapi beda dalam hal kemampuan. Karena Dracula itu di gambarkan sebagai Undead yang kaya raya dan sangat hebat. Sedangkan Vampir? Ah, sama. Lebih Jelasnya, mari bahas asal usulnya saja.


Dracula adalah sebuah tokoh fiksi karangan Bram Stoker dalam novelnya yang berjudul Dracula (1897). Dracula adalah nama dari seorang sesosok vampir yang di gambarkan sangat tangguh. Dalam novel tersebut, nama Dracula lebih di kenal dengan sebutan Count Dracula. Ia adalah seorang bangsawan Eropa yang bertempat tinggal di Transylvania, Rumania. Dalam novel tersebut ia di gambarkan sebagai makhluk yang bentuk tubuhnya sama seperti manusia, hanya saja kulitnya sangat pucat, giginya sangat putih, bibirnya merah, hidungnya mancung, tinggi menjulang, sehingga terlihat 'lancip' (penampilannya sangat menonjol, karena sangat berbeda dengan manusia normal). Ia juga sangat kuat, dingin, dan tubuhnya sekeras baja.

His hand actually seemed like a steel vice that could have crushed mine if he had chosen.
Sebenarnya, tangannya seperti tang baja yang bisa saja meremukkan tanganku jika ia mau.
(Stoker, 1897: 17)

Wednesday, May 14, 2014

Ciri Khas Drama Karya George Bernard Shaw

George Bernard Shaw? Siapa ya? Oh, dia itu mbah saya ha..ha..ha.. Mbah dari mana? Itu, sebagian tubuh saudara beliau dulu di jadikan bagian tangan saya (alamak, seperti Frankenstein aja~tubuhnya berasal dari orang yang berbeda-beda). Bukan...Bukan... Shaw bukan mbah saya. Saya malah nggak kenal. Cuma kenal lewat beberapa karyanya saja.


Shaw adalah playwright, novelis, kritikus, essais, politikus, dan orator Irlandia yang menetap di Inggris. Tapi sayangnya saya cuma kenal Shaw lewat dramanya saja. Itu pun baru tiga, yang judulnya Man and Superman, Arms and the Man, dan Pygmalion. Masih ada sekitar 50an drama lagi yang belum saya baca. Tapi kok bisa-bisanya saya nulis tentang ciri khas dramanya Shaw? Lancang sekali! Tak apa, ini adalah kesan pertama saya setelah membaca tiga drama Shaw yang sangat terkenal itu. Nanti kalau ada perubahan kesan, tentu akan saya tulis lagi. Sebenarnya saya nulis ini karena beberapa waktu yang lalu saya habis nonton drama adaptasi dari karya Shaw ini yang berjudul Man and Superman. Drama ini di pentaskan dengan judul Wong, dan di adaptasi ke dalam budaya Jawa (gaya Jogja dan Banyumasan) dan campur Sunda (karena ada tokoh bernama Asep-nya). Komentar saya "Ya, lumayan. Bagus... bagus... karena bisa menampilkan adegan realis beserta surealisnya sekaligus. Tapi, kok ada yang kurang ya." Nah itu dia, kurangnya adalah kelompok teater ini sepertinya benar-benar mencari cara bagaimana mengadaptasi adegan surealisnya, tapi malah melupakan ide utama dari drama ini yang juga merupakan ciri khas Shaw.

Mengapa Penelitian Sastra Menggunakan Teori Sosiologi dan Psychology?



Beberapa waktu yang lalu ada kawan saya curhat tentang teori sastra. Dia bilang teman dia yang kuliah di fakultas keguruan sempat protes waktu lihat skripsi kami (mahasiswa Jurusan Sastra Inggris) menggunakan pendekatan teori yang katanya 'itu teori punya anak ilmu sosial dan humaniora'. Waktu itu temannya teman saya lihat skripsi teman saya yang pakai teori Strukturalisme, di khususkan ke semiotikanya Roland Barthes. Teman saya bingung gimana menjelaskannya, terus waktu saya dengar dia curhat ke saya, saya cengar-cengir saja lah dengarnya (padahal saya mikirnya mumet juga). Tak lama kemudian, ada pula teman saya, curhat lagi, "Duh, bingung aku, sastra kok teorinya Marxism, Feminism, etc. sih, apa sastra itu nggak punya teori seindiri?" Terus saya jawab "What do you expect then? Emang kamu pinginnya sastra itu punya teori yang bagaimana?". Eh dia diam, mungkin mikir, ya sudah, saya juga ikut mikir deh ha..ha..ha.. Ya, betul, saya juga jadi ikut mikir, tapi bukan mikir kenapa penelitian sastra pendekatan teorinya pakai Marxism, Feminism, etc. tapi lebih ke bagaimana bikin penjelasan singkat yang masuk akal dan mudah di mengerti. Kerena jujur saja saya memang tidak pernah mempertanyakan kenapa penelitian sastra kok pakai teori ilmu sosial dan humaniora.

Tuesday, May 13, 2014

Subjek Penelitian Sastra Inggris

Adakah yang pernah bertanya-tanya tentang "Apa saja sih yang bisa di jadikan penelitian untuk skripsi jurusan Sastra Inggris?" atau "Kalau novel bahasa Indonesia bisa tidak sih di jadikan subjek penelitian untuk Sastra Inggris?" atau "Apakah subjek penelitian sastra Inggris itu cuma novel, puisi, dan drama doang?" Well, tidak jarang mahasiswa-mahasiswa semester 4 atau 5 bahkan 6 atau 7 biasanya suka bertanya-tanya tenang itu. Malah, mungkin juga yang baru mau masuk kuliah Sastra Inggris sudah bertanya-tanya tentang itu (tapi kayaknya juarang banget deh ha..ha..ha..). Yah, tidak ada salahnya sih bertanya-tanya macam itu, karena saat baru memulai penelitian biasanya akan timbul keragu-raguan tentang "Apakah subjek ini bisa di jadikan penelitian atau tidak?" bahkan yang baru mau mulai kadang juga bingung "Neliti apa ya enaknya?" Sebenarnya kalau sudah belajar teori sastra, linguistik, dan terjemahan sih tidak perlu bingung-bingung lagi ya. Tapi, yah, lets talk about that here.


Well, lets begin with the question "Apa saja sih yang termasuk dalam kajian sastra Inggris?"
Sebenarnya kita harus membedakan dulu antara Sastra Inggris (English Literature) dan jurusan Sastra Inggris (English Department). Kalau Sastra Inggris itu ya sastranya (Literature - bisa dibilang seni dalam menulis kali yak), sedangkan jurusan Sastra Inggris itu adalah Program Studi yang di dalamnya mempelajari antara lain Sastra Inggris (English Literature), Linguistika (Linguistics), dan Terjemahan (Translation). Nah, jadi untuk menyebut subjek penelitian sastra Inggris disini lebih baik kita pakai istilah subjek penelitian dalam English Department aja ya, biar yang Linguistik dan Terjemahan juga ikut terbahas. Mahasiswa English Department biasanya akan belajar tentang tiga hal utama yaitu: Sastra, Linguistika, dan Terjemahan. Semua mahasiswa akan dapat itu, tapi di akhir perkuliahan, sebagai tugas akhir biasanya mereka hanya akan diwajibkan memilih satu fokus studi mereka untuk di jadikan Skripsi. Yang suka berargumen pilihlah Sastra, dan yang suka sesuatu yang berumus dan teroganisir, pilihlah Linguistik atau Terjemahan. Untuk subjeknya kalian bisa pilih apa saja yang penting subjek itu menggunakan bahasa Inggris. Penjelasannya ada dibawah ini:

Komedi, Charlie Chaplin, dan Simbolisasi dalam Kostum dan Filmnya



Komedi, tentu bukan hal asing bagi telinga maupun penglihatan kita. Karena hampir semua stasiun televisi, tidak hanya di indonesia tapi juga di seluruh dunia mempunyai program khusus untuk acara-acara komedi. Tapi sebelumnya, apa sih sebenarnya Komedi, itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, "komedi adalah sandiwara ringan yang penuh dengan kelucuan meskipun kadang-kadang kelucuan itu bersifat menyindir dan berakhir dengan bahagia". Walaupun komedi hanya berupa sandiwara ringan, tapi komedi bisa menjadi penting, digemari dan melegenda karena unsur-unsur menghiburnya merupakan hal yang dibutuhkan masyarakat saat mereka sedang merasa suntuk dan ingin melepas penat. Karena komedi merupakan gaya hidup yang dijalani oleh seseorang, maka komedi juga tergolong sebagai budaya. 
Essay ini akan membahas tentang simbolisasi dari kostum seorang komedian yang sangat tekenal pada tahun 1930an lewat silent movie atau film bisunya.

Monday, May 12, 2014

Surat dari Hati




Yogyakarta,
 Senin, 18 November 2013



Dear man, the dearest man of mine

Apa kabar, Lelakiku? Baik kan? Masih pegal-pegel kecapekan setelah bolak balik Sekolah setiap hari dari pagi sampai ashar dan petangnya harus menyiapkan materi untuk esok harinya? Masih stres dengan deadline dari bos kamu? Tentu iya, tapi mungkin juga sudah berkurang ya sekarang karena tugas berat itu sepertinya hampir selesai atau malah sudah selesai. Saya senang kalau kamu baik-baik saja dan saya harap selalu begitu. Tiap hari saya do’akan selalu supaya kamu sehat terus dan diberi semangat yang ajeg. Saya do’akan pula secapek-capeknya kamu, kamu masih diberi semangat untuk nulis jurnal, menikmati lagu-lagunya favoritmu yang bikin kamu semangat, yang bikin cahaya di matamu hidup dan nggak pernah meredup; dan diberi kekuatan untuk mengangkat otot bibirmu untuk membentuk senyuman, senyuman yang memicu timbulnya senyum lain di luar sana, senyum yang bisa selalu kamu salurkan energinya untuk dirimu sendiri dan orang lain. Senyum yang saya kangenin.
Apa kabar dengan hatimu? Apakah ia baik-baik saja? Ya, aku rasa; Iya.
Saya ingin cerita nih...
Hari ini saya duduk sendiri di pinggir rel kereta, ditemani semangkok es campur dan novelnya Remy Sylado. Tidak seperti biasanya saat saya pegang buku atau bahan bacaan lainnya, hari ini saya sangat terganggu sekali dengan suara-suara klakson sepeda motor, padahal biasanya suara kereta yang melengking, gemuruh pesawat yang menggetarkan, klakson mobil yang saut sautan tak pernah mengganggu saya sama sekali; ibaratnya, saat ada suara bom meledak di telinga saya, saya nggak akan terganggu kalau saya sedang pegang buku. Tetapi, tidak hari ini, saya terganggu sekali dengan lalu lalang sepeda motor, leher saya sampai capek menoleh kekanan, kekiri. Kenapa hari ini berbeda? Saya juga tak tahu kenapa. Tapi, setelah saya coba cari-cari penyebabnya dalam diri saya, rupanya, sepertinya itu dipicu oleh hati saya yang sedang amat merindukanmu. Saya tengok kanan, kiri, berharap menemukan sosokmu diantara ribuan manusia yang hilir mudik memenuhi jalanan. Sayangnya, usaha saya tak membuahkan hasil, jangankan melihat sosokmu, siluetmu saja tak terlihat sama sekali. Terpaksa saya pulang, selain karena saya pusing melihat arus manusia yang tak henti-hentinya, pemilik warung tempat saya makan juga sepertinya sudah harap-harap cemas melihat saya yang tidak beranjak pergi sejak tadi.
Masih, masih saya berharap bisa menemukan sosokmu diantara ribuan manusia ini, tapi tetap saja, tak saya temukan. Satu langkah yang biasanya saya selesaikan dalam waktu 0,5 detik, kini saya lakukan dalam waktu 60 detik, sekali lagi dengan harapan dapat menemukan sosokmu dalam lautan manusia ini. Langkah demi langkah saya lalui sampai akhirnya saya sentuhkan tangan ini pada gagang pintu kamar, saya sadari bahwa tidak hari ini, bukan, bukan hari ini saya ditakdirkan dapat berjumpa denganmu. Saya sadari pula bahwa menemukanmu saat ini sungguh lebih sulit dari pada menemukan jarum dalam tumpukan jerami.

Sanggar Sarasilah I

It've been so long time I never touch this blog. I suppose to write everyday, or at least twice a week. Yet, the fact, I never do it. Shame on me. Well, it's okay since I'm busy (say: who? me? seriously?). Lately, me and Sanggar Sarasilah and mainly English Department of UIN Sunan Kalijaga held an event. It's "Festival Drama Sastra Inggris". Hopefully that will be the anual event for English Department since now on. Well, of course, Sanggar Sarasilah will help them to organize everything well (surely, it will be our project again next year). It feels very great. Oh... should I write it in English? I think there will be oneone will read if it so. Then lets just speak Bahasa Indonesia.


Sanggar Sarasilah adalah sebuah kelompok belajar (woh, mengerikan), no, benar, Sanggar Sarasilah itu memang kelompok belajar. Khususnya belajar seni pementasan. Sanggar Sarasilah lahir di Yogyakarta, 3 November 2012. Sebenarnya tepatnya bukan tanggal itu, tapi itulah tanggal pertama kami memantaskan sebuah drama komedi yang di adaptasi dari drama karya Oscar Wilde dengan judul The Importance of Being Earnest. Drama ini kami adaptasi dengan setting kebudayaan Jawa, Khusunya Jogja dan Solo dengan judul Permananing Wigati di Teatrikal Pusat Bahasa UIN Sunan Kalijaga. Hasil dari perjuangan selama delapan minggu terbayar sudah dengan sangat manis ketika kami di umumkan menjadi kelompok terbaik dan langsung mendapatkan 9 penghargaan dari total 15 kategori. Sebenarnya, Sanggar Sarasilah awalnya bukan ditujukan untuk menjadi sebuah sanggar yang benar-benar akan memproduksi pementasan lain, karena ini hanyalah sekumpulan mahasiswa yang tergabung dalam satu kelas di Mata Kuliah Drama 2 yang memang saat itu mendapat tugas untuk mementaskan sebuah drama. Tapi, entah kenapa setelah itu perasaan ingin 'ditonton', 'berekspresi', dan 'menggila di atas panggung' menjadi sesuatu yang 'nagih-banget-rasanya'. Jadilah, yang seharusnya kami melanjutkan kuliah untuk mempelajari genre drama Absurd, kami tidak ingin jika harus hanya-diam-saja-membaca. Kami ingin sesuatu yang lebih nyata. Wah, rasanya baru kali itu ada mahasiswa menantang dosen. Yap, kami menantang dosen pengampu makul Drama 2 untuk mementaskan drama absurd karya Samuel Beckett dengan judul Waiting for Godot. Jadilah, kami mementaskan drama absurd ini.