Wednesday, May 21, 2014

A Normal Human Thing


Menatap balik hidup saya selama dua puluh tahun ini rasanya membosankan sekali. Sepertinya tak ada yang bisa dibanggakan sama sekali. Bayangkan saja, selama dua puluh tahun hidup di dunia, belum pernah sekali pun saya dapat piala, belum pernah sama sekali jabat tangan dengan orang penting, belum pernah sama sekali pergi keluar negeri atau keluar kota sebagai utusan sekolah atau kampus, belum pernah juga nyanyi di depan banyak orang pakai gitar atau piano (menurut saya itu keren buanget, sudah membayangkan bisa seperti itu dari zaman SMP tapi nggak pernah kesampaian karena saya nggak bisa nyanyi, apalagi main gitar). Sekali-kalinya keluar daerah ya hanya buat main ke rumah keluarga atau jalan-jalan sama teman dan study tour dulu sama masih SMA. Aduh duh, hidup kok datar sekali ya. Padahal teman SMP saya ada yang sudah bolak balik keluar negeri, teman SMA saya... sepertinya belum ada, dan teman kuliah saya juga sudah pada bolak balik keluar negeri (walaupun pol-polnya cuma di Malaysia, Singapura, dan Thailand, tapi kan tetap saja luar negeri ha..ha..ha..). Sebaliknya, saya, pulau Jawa saja belum semuanya ke-injak. Tak apa lah, mungkin belum rezeki, lagian dipikir-pikir, kalau ke luar negeri, ngapain ya di sana? Apa iya cuma foto-foto dan cari gantungan kunci buat oleh-oleh.
Kayaknya, nanti kalau saya keluar negeri tujuannya adalah buat menuh-menuhi stempel di paspor deh ha..ha..ha.. (so cheap~kalau gitu bikin stempel aja sendiri ya). No, no... nanti kalau saja bisa nginjak Eropa, saya pingin duduk ditempat tokoh-tokoh besar dunia dulu pernah duduk, sambil pegang buku dan kopi. Pingin tahu, kok bisa sih mereka jadi orang besar. Pingin ke perpustakaan, ke kampus, ke cafe, ke Teater, ke Kebun, ke Jembatan tempat tokoh-tokoh besar itu pernah berkunjung. Pingin tahu apa sih istimewanya tempat itu sampai bisa melahirkan tokoh-tokoh yang pikirannya kreatif dan kritis. Pingin tahu juga apakah mereka itu memang sudah pintar dari awal mereka hidup (so funny... you are obsessed!). Ah tentu saja tidak begitu, mereka itu bisa jadi tokoh besar yang kritis tentu karena telah mengalami hal-hal besar juga. Mereka pasti sudah pernah merasakan rasanya di kritik dengan kritikan super nylekit, pernah merasakan rasanya nggak punya uang peser pun di kantong, pernah merasakan rasanya jalan kaki bermil-mil, pernah merasakan bergadang semalam suntuk, pernah merasakan karyanya tidak di hargai, pernah merasakan rasa iri melihat orang lain sudah sukses, pernah merasakan down saat keadaan tidak kunjung membaik, pernah merasakan desperate dan misserable saat melihat orang lain mendapat apa pun dengan mudah sementara ia harus merangkak dan ngesot untuk mendapatkannya. Tidak pernah ada sukses yang instan. Itu adalah hukum mutlak. Jadi, sepertinya, saya tidak perlu mengeluhkan hidup saya yang datar begini ya.
You know? Ferdinand de Saussure itu terkenal setelah bukunya terbit 16 tahun setelah dia meninggal. Hidupnya yang datar itu ha..ha..ha.. tetap datar sampai dia meninggal. 16 tahun kemudian baru terkenal (duh, mana kerasa, wong sudah ada di liang kubur kok). Tapi datarnya hidup dia tak pernah di sesali tuh. Dia itu strukturalis yang ajarannya linguistiknya tentang sign, signify, dan signifier-nya juga langue, languge, parole masih di pakai sama milyaran orang di dunia ini. Dulu, hidupnya ya cuma baca buku, ngamati orang bicara, debat, diskusi, ngajar, makan, minum, dan tidur. Sama seperti saya ternyata ha..ha..ha.. malah mending saya mungkin (saya udah pernah nyobain capoeira, tae kwon do, senam lantai, bikin poster, jadi sutradara, dan actress panggung), tapi dia begitu serius mendedikasikan hidupnya untuk sesuatu yang di suka. Kalu dipikir-pikir banyaknya kegiatan yang saya coba jadi tidak terlalu berarti di depan kegiatannya yang cuma belajar Liguistik aje. Iya, karena saya melakukan sesuatu sekedar untuk nambah-nambah pengalaman tanpa pernah di seriusin yang pada akhirnya cuma menjadi pengalaman yang setengah-setengah dan menghasilkan kemampuan yang setengah-setengah pula. Tidak ada salahnya sih dengan itu (Lah... siapa yang bilang salah?!), tapi ya nggak benar juga. Why? Karena hanya kemampuan setengah-setengah itu hanya menghasilkan karya yang setengah-setengah pula. Tidak maksimal, tidak total. Padahal 'totalitas' itulah hal yang paling sering saya kritik saat jadi juri di festival drama. Karena tanpa totalitas, akting itu cuma menghasilkan sesuatu yang tidak enak dinikmati.
Well, sepertinya saya harus menemukan sesuatu yang benar-benar ingin saya kuasai. Tapi, tetap jangan ketinggalan jaman yak. Kok gitu? Iya, karena yang saya sukai itu biasanya memang hal-hal tua, seperti novel tua, musik tua, drama tua, rumah tua, bangunan tua, sup tua, roti tua, beer tua... (beer? ngarep sekali...), Nah kan, jangan karena suka lagu-lagi tua nanti nggak tahu pula lagu muda yang trend itu gimana. Berasa seperti hidup dalam gua ya. I think you should do that to dear friend. Punya banyak pengalaman itu memang asyik, tapi, alangkah baiknya kalau kau punya satu hal yang akan jadi hal yang paling kamu andalkan dalam hidupmu. Mungkin, bisa jadi kamu ahli bikin kopi, atau teh, atau origami, atau menjahit, atau nulis, atau mengkritik? ha..ha..ha..

3 comments:

  1. Bismillah
    Pertama, Mimpi dan Keinginan dulu
    Selanjutnya semoga Allah mengabulkan

    ReplyDelete
  2. Sesederhana apapun hidup kita, tetaplah harus dijalani dengan penuh rasa syukur...
    Memang baik menjadi orang penting, namun lebih penting menjadi orang yang baik.

    Salam selalu...

    ReplyDelete
  3. Betul, betul. Itu karena tidaklah mungkin Tuhan menciptakan manusia tanpa tujuan. Ada yang di atas, di bawah, di sekitar supaya kita pun bisa melihat ke atas, ke bawah, dan ke samping. Terimakasih atas kunjungannya.

    ReplyDelete