Monday, November 18, 2013

Surat Manusia untuk Dewa

Aku baru saja membaca novel hidup yang mengisahkan kehidupan dewa dan manusia. Aku merasa, aku mengenal betul cerita ini.
“Melihatmu terbang, jauh meninggalkan duniaku memberikan sensasi tusukan-tusukan serpihan kaca dikakiku. Saat aku ingin melangkah mengejarmu, sakit, perih, pegal, itu yang kurasakan, selalu, tapi juga membuatku tersadar sepenuhnya akan keadaanku. Hidup manusia dan dewa memang selalu berbeda, kau punya sayap, aku tidak; kau bisa terbang, berjalan pun aku sempoyongan, kau bisa membuat semua orang mengelilingimu; tersenyum padaku pun orang ragu.
Tapi, benar, dewa memang hanya dapat bertahan hidup diatas awan, bukan di dunia rendahan yang penuh carut marut seperti duniaku, dunia manusia. Kau terbang, kau hilang, menyisakan kenangan yang begitu membekas dan tak mudah dihilangkan_bukan, bukan tak mudah dihilangkan, tapi aku yang tak sudi menghapusnya_. Begitulah jika dewa dan manusia jatuh cinta, pada akhirnya manusia ini harus membiarkannya pergi, terbang dan hanya melihatnya dari kejauhan. Seberapapun banyaknya serpihan kaca pada tubuhnya, manusia, ia lah yang harus berdiam, membiarkan dewa pergi menjauh untuk dinikmati milyaran manusia lainnya. Dewa, tidak semestinya menjadi milik pribadi manusia. Ia adalah pribadi independen yang tak boleh disimpan untuk sendiri.”
Apakah kisah kita adalah kisah cinta dewa dan manusia? Kau dewanya dan aku lah manusia rendahan itu.
Membisu saja aku dalam gelap, meraba-raba keyboard laptopku, menatap kegelapan yang tak ada habisnya. Menatap gambaran isi hatiku yang terbungkus rapat kertas karbon pekat. Aku benci cahaya pagi, aku benci cahaya pagi yang menyoroti luka busuk bernanah pada jiwaku ini, aku hanya ingin gelap, gelap pekat yang bisa menyembunyikan adanya aku yang sedang menunggu dewa untuk datang membawa secawan air suci. Air suci, air babtis yang bisa membersihkan luka busukku. Kemudian, jika dewa tak kunjung datang, aku pun tak perlu merepotkan orang lain akan adanya aku, tak perlu merepotkan mereka memandangku, aku ingin gelap. Aku dan gelap, berdua, bersatu, luruh dan menghilangkan jejak kemanusiaanku. Membiarkan dewa terus terbang jauh menembus awan, menembus galaksi. Mendoakan dan mengharapkan kejayaan untuk dewa, tak peduli harus ku rasakan tusukan tombak menembus jantung hingga ke punggung, merasakan terbangun tengah malam karena mimpi buruk tentang dewa, dan terbangun dipagi hari dengan mengutuk datangnya cahaya mentari pagi. 

Human Right: Your Right, My Right

Semua orang punya hak asasi masing-masing dalam hidupnya, dan saya sepenuhnya percaya itu. Tuhan telah berbaik hati memberikan hak itu pada semua makhluk hidup: manusia, tumbuhan, binatang, semua punya hak dengan porsi yang berbeda-beda. Mengapa dengan porsi yang berbeda? tentu saja berbeda karena tiap makhluk mempunyai kebutuhan yang berbeda pula. Saya, sastrawan, punya hak untuk menulis, menulis apa saja sejauh imajinasi saya membawanya, tapi saya tidak punya hak untuk menerbangkan pesawat terbang karena saya tidak membutuhkan itu dan terlebih lagi saya tidak mampu untuk itu. Tumbuhan berhak menghirup karbondioksida karena mereka membutuhkan itu, tapi tidak berhak menghirup oksigen karena mereka nggak butuh itu, singa berhak makan kijang mentah-mentah karena mereka butuh itu tapi tidak berhak makan rumput karena mereka tak butuh itu. Well, mungkin itu bukan sebuah analisis yang tepat, tapi kira-kira seperti itu lah. selain karena kebutuhan yang berbeda-beda, perbedaan porsi hak asasi juga berada pada tingkat kemampuanan kita dalam hal yang membatasi hak kita tersebut.
selain itu, bagi manusia sendiri, saya percaya kalau hak asasi manusia itu sebenarnya bukan hak yang membebaskan manusia untuk berbuata apa saja menurut keinginan mereka, tapi hak yang masih ada batasnya. hak ini berlaku sejauh hak ini tidak mengganggu hak orang lain. contohnya, saat seseorang tinggal bersama dalam sebuah kos atau rumah kontrak, ia berhak untuk menonton acara lucu dan tertawa terbahak-bahak sampai tersedak selama kawan lain di kosnya tidak terganggu, karena temannya itu juga punya hak untuk mendapatkan ketenangan. hak asasi si penonton itu terbatasi oleh hal kawannya yang ingin ketenangan.
tapi, mengapa ya, banyak orang masih berpikir kalau hak asasi manusia itu adalah hak "suka-suka gue!, mau-mau gue!, masalah buat loh?", noway! bukan seperti itu man! kau ingin berteriak, terbahak, boleh saja. asal tak mengganggu orang lain. hak asasi kamu, juga hak asasi saya.