Thursday, September 20, 2012
Tentang Sebuah Rasa
Jika seseorang bertanya padaku "Sukakah kau padaku?" Lalu apa yang harus kukatakan padanya? haruskan aku berkata "ya" atau haruskah aku diam membisu atau haruskan aku berkata "tidak"? apapun yang ingin ku katakan tentu harus bersumber dari perasaan hati terdalamku yang mungkin hanya aku dan Tuhan yang tahu. Saat aku berkata "ya, aku menyukaimu" lantas apakah aku harus menunjukannya padamu saat itu juga? Mungkin banyak teori orang-orang hebat yang mengatakan bahwa, "Jika kau menyukai seseorang maka tunjukanlah padanya, jangan kau tutupi untuk menyiksa batinmu sendiri". Itu mungkin benar, karena menahan perasaan dalam hati bukanlah hal yang mudah. Dada ini seakan hendak meledak karena begitu banyak muatan yang ada disana, perut ini juga kenyang dan terpuaskan oleh rasa yang ku makan sendiri hingga ia tak pernah merasakan lapar, tangan ini gemetaran menahan rasa yang menggetarkan amat hebat dari sebuah pikiran dan hati yang membawa goncangan begitu besar. tapi selanjutnya saat aku telah menunjukan rasa ini padanya, lalu apa? apakah setelahnya akan mudah bagiku?
aku rela berteriak untuk meneriakan kata "tidak". aku mungkin lega saat itu, tapi bayangan menakutkan akan selalu menghantuiku. dalam hati aku pasti akan bertanya-tanya.
"akankan dia akan selalu ada disisiku?"
"apakah perasaannya padaku tak kan berubah dan aus oleh gilasan waktu?"
"apakah dia rela berkorban apa saja untukku?"
"apakah dia tak kan jemu bersamaku?".
itulah yang akan selalu ku rasakan setelahnya. jika, jika saja ia adalah milikku atas nama Tuhanku, berlandaskan ikrar suci dan saksi yang tak bisu yang siap mengungkapkan kebenaran kala ia tak lagi seperti dulu mungkin kekhawatiran itu akan sirna. tapi, bagaimana jika dia milikku, milikku yang hanya sementara tanpa ikatan suci dan hanya disaksikan oleh sebuah saksi bisu yang dapat dibuang? aku takut, mungkin dia akan menjadi orang yang begitu mudah, mudah menyerahkan rasa sukanya pada orang lain. sebuah rasa suka memang harus dilandasi rasa percaya, tapi rasa percaya tanpa landasan dan bukti itu buta.
jika kau bertanya padaku "jika kau menyukaiku, lantas mengapa tak menunjukannya padaku selalu?" maka aku akan menjawab " Untuk apa? untuk apa kutunjukan padamu jika kau bukan milikku atas nama Tuhanku? aku menyukaimu atas nama hatiku, masalah yang berkaitan dengan hatiku. lantas untuk apa kutunjukan pada dunia? tak ada yang perlu ku tunjukan pada dunia jika hatimu telah mengetahuinya, karena rasa ini adalah masalah hati kita masing-masing, masalah pertautan hati kita yang dunia tak kan memahaminya meskipun telah kita tunjukan. jika memang perasaan suka ini telah tertuliskan dalam takdir kita di zaman azali, maka takkan ada yang dapat merubahnya meski pun kau bisu dan tak dapat mengucapkan
"Qobiltu Nikahaha wa Tazwijaha alal Mahril Madzkuur wa Radhiitu bihi, Wallahu Waliyut Taufiq" (“Aku terima pernikahan dan perkawinannya dengan mahar yang telah disebutkan, dan aku rela dengan hal itu. Dan semoga Allah selalu memberikan anugerah”).
tapi setelah itu kau ungkapkan dengan caramu bersama saksi yang adil maka untuk menunjukan pada dunia aku telah siap karena kita telah berada dijalan Allah dan melangkah bersama saudara kita dijalan yang benar.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete