owh... seperti inikah perasaan rindu itu terasa. Betapa
menyakitkannya saat tak bertemu karena menahan rindu. Ingin rasanya aku duduk
disampingmu dan mencium wangi tubuhmu selamanya, tak ingin sesuatu pun
memisahkan kita berdua. Betapapun kadangan omelanmu begitu menjengkelkan, tapi
tak berarti bahwa cintaku akan engkau berkurang, satu tetespun tidak. Andaikan
kau bumi ini maka akulah bulan yang akan senantiasa berada disisimu, apa pun
yang terjadi. Itulah yang ku inginkan, tapi kenyataan berkata lain.
Hanya pikiran dan bayangan logika saja yang ada, sedangkan nyata membuatnya begitu kabur dan tak terlihat. Aku, harus pergi, bukan kau lagi yang meninggalkanku seperti dulu, tapi akulah yang harus pergi. Aku tak ingin pergi tapi harus pergi, berat, berat sekali untuk ikhlas. Begitu malu rasanya dulu aku pernah berpikir bahwa mungkin kau tak merindukanku, ternyata perasaan kita sama, tak ada perbedaan sedikitpun akan rasa itu. Aku tahu kau merindukanku bahkan lebih dari pada aku merindukanmu, kau mengkhawatirkan aku lebih dari pada aku mengkhawatirkanmu, kau memikirkanku lebih dari pada aku memikirkanmu. Aku? Aku berkata aku merindukanmu dan mengira kau tak merindukanku? Malu, malu aku, sungguh malu mengetahuinya. Akankah aku bisa merindukanmu, mengkhawatirkanmu dan memikirkanmu lebih dari pada kau padaku? Entah, aku tak yakin... dalam sujudmu dan dalam do’amu, kau teteskan air matamu untukku, untuk kami anak-anakmu. Betapa kuat kau mak, betapa kuat menahan rindumu untuk anakmu ini demi dia yang sedang menuntut ilmu agar ia tenang disana. Tapi jika kau tahu bahwa anakmu tak kuat menahan rindunya, akan kah kau meluluhkan hatimu untuknya dan membiarkannya membaringkan kepalanya dipangkuanmu saat ini?
Hanya pikiran dan bayangan logika saja yang ada, sedangkan nyata membuatnya begitu kabur dan tak terlihat. Aku, harus pergi, bukan kau lagi yang meninggalkanku seperti dulu, tapi akulah yang harus pergi. Aku tak ingin pergi tapi harus pergi, berat, berat sekali untuk ikhlas. Begitu malu rasanya dulu aku pernah berpikir bahwa mungkin kau tak merindukanku, ternyata perasaan kita sama, tak ada perbedaan sedikitpun akan rasa itu. Aku tahu kau merindukanku bahkan lebih dari pada aku merindukanmu, kau mengkhawatirkan aku lebih dari pada aku mengkhawatirkanmu, kau memikirkanku lebih dari pada aku memikirkanmu. Aku? Aku berkata aku merindukanmu dan mengira kau tak merindukanku? Malu, malu aku, sungguh malu mengetahuinya. Akankah aku bisa merindukanmu, mengkhawatirkanmu dan memikirkanmu lebih dari pada kau padaku? Entah, aku tak yakin... dalam sujudmu dan dalam do’amu, kau teteskan air matamu untukku, untuk kami anak-anakmu. Betapa kuat kau mak, betapa kuat menahan rindumu untuk anakmu ini demi dia yang sedang menuntut ilmu agar ia tenang disana. Tapi jika kau tahu bahwa anakmu tak kuat menahan rindunya, akan kah kau meluluhkan hatimu untuknya dan membiarkannya membaringkan kepalanya dipangkuanmu saat ini?
Kau berkata padaku bahwa kini tenagamu sudah tak sekuat
dulu, untuk bekerja mungkin kau sudah loyo. Jadi, biarkanku duduk disampingmu
untuk memijatmu, memberi sentuhan pasti yang dapat kau artikan bahwa aku tak
akan kemana-mana, aku tak akan pergi jauh saat kau tak seperti dulu lagi, aku
akan menyayangimu dan tak akan menyianyiakanmu satu detik pun. Dulu kau
menuntunku, maka saat kau membutuhkanku, aku akan datang, kau tak perlu
memanggilku karena aku yang akan memahamimu, memahami seluruh kebutuhanmu.
Jangan khawatir mak, aku telah memahiminya sedikit demi sedikit saat ini.
tetesan rindu Rembulan buat sang Emak...
jadi inget nenek jen.. :D dan keduanya udah ga ada... :D tapi bagus juga isinya... bermanfaat.. :D
ReplyDeleteterimakasih Na...
ReplyDeleteMenetes air mata ini membacanya
ReplyDeleteJika berkenan aku ingin lebih banyak membaca tulisan anda sebagai literasi untuk bisa menulis
Jika Anda tidak keberatan, ini alamatku
bokirblangkon@gmail.com