Komedi, tentu bukan hal asing bagi telinga maupun penglihatan kita. Karena hampir
semua stasiun televisi, tidak hanya di indonesia tapi juga di seluruh dunia
mempunyai program khusus untuk acara-acara komedi. Tapi sebelumnya, apa sih sebenarnya Komedi, itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, "komedi adalah sandiwara ringan yang penuh dengan
kelucuan meskipun kadang-kadang kelucuan itu bersifat menyindir dan berakhir
dengan bahagia". Walaupun komedi hanya berupa sandiwara ringan, tapi komedi bisa
menjadi penting, digemari dan melegenda karena unsur-unsur menghiburnya
merupakan hal yang dibutuhkan masyarakat saat mereka sedang merasa suntuk dan
ingin melepas penat. Karena komedi merupakan gaya hidup yang dijalani oleh
seseorang, maka komedi juga tergolong sebagai budaya.
Essay ini
akan membahas tentang simbolisasi dari kostum seorang komedian yang sangat tekenal pada tahun 1930an lewat silent
movie atau film bisunya.
Saat membicarakan tentang komedi, bagaimana mungkin kita melewatkan Charlie Chaplin. Sir Charles Spencer ‘Charlie’ Chaplin (1889-1977) adalah aktor, sutradara, penulis, dan komposer asal Inggris, tapi kemudian ia pindah ke Amerika dan menjadi komedian disana. Beberapa film yang ia bintangi adalah The Face on the Barroom Floor (1914), The Vagabond (1916), Limelight (1952), Behind the Screen (1916), The Immigrant (1917), The Kid (1921), A Woman of Paris (1923), The Gold Rush (1926), City Lights (1931), Modern Times (1936) dan The Great Dictator (1940) (Ward: 2009).
Saat membicarakan tentang komedi, bagaimana mungkin kita melewatkan Charlie Chaplin. Sir Charles Spencer ‘Charlie’ Chaplin (1889-1977) adalah aktor, sutradara, penulis, dan komposer asal Inggris, tapi kemudian ia pindah ke Amerika dan menjadi komedian disana. Beberapa film yang ia bintangi adalah The Face on the Barroom Floor (1914), The Vagabond (1916), Limelight (1952), Behind the Screen (1916), The Immigrant (1917), The Kid (1921), A Woman of Paris (1923), The Gold Rush (1926), City Lights (1931), Modern Times (1936) dan The Great Dictator (1940) (Ward: 2009).
Menurut
wikipedia (2013) Chaplin lahir dan tumbuh di London, ia melalui masa kecilnya
dalam kesulitan dan kemiskinan pada Victorian
era (Periode saat Ratu Victoria menjabat sebagai ratu Inggris). Ayahnya adalah seorang pemabuk dan ibunya menderita kelainan mental.
Chaplin memulai karirnya dari saat ia masih belia, ia melakukan pertunjukan
musik keliling dan akhirnya menjadi aktor dan komedian. Kemunculannya dalam
film pertama kali adalah pada tahun 1914. Kemudian ia mengembangkannya dan
akhirnya dapat membuatnya sangat terkenal dengan persona atau kepribadian ‘gelandangan’ yang
selalu ia mainkan.
Hampir semua
filmnya adalah merupakan hasil karyanya sendiri. Charlie Chaplin menulis
alurnya, mengkomposisi musiknya, menyutradarainya, dan lain sebagainya. Chaplin
selalu membuat film komedinya tidak hanya menghibur, tapi juga penuh makna dan
menggambarkan apa yang terjadi pada kehidupan nyata pada masa itu. Sehingga, film-film
itu tidak hanya menjadi hiburan belaka, tetapi juga menjadi sebuah objek dalam
berbagai macam penelitian. Hal ini membuatnya menjadi sebuah fenomena budaya
populer yang mempunyai cita rasa budaya tinggi.
Comedi yang
Chaplin ciptakan tentu dimaksudkan untuk menarik perhatian penonton sehingga
dapat menghasilkan uang, karena itulah komedinya merupakan bagian dari budaya
populer. Karena, budaya populer menurut Macdonald dalam Henrie (2004) adalah
budaya yang dihasilkan bukan untuk para pengamat seni maupun komunitas rakyat
tertentu, tetapi untuk pasar. Jadi, budaya populer tumbuh bersama ekonomi pasar
dan budaya yang dibuat untuk menghasilkan uang dengan menarik perhatian massa
yang banyak. Walaupun demikian, budaya pop terkadang juga memiliki kriteria
sebagai budaya tinggi karena hal-hal tertentu seperti mengandung nilai-nilai
moral, dikenang, dibuat menjadi kajian-kajian ilmiah, dan menjadi inspirasi
atau rujukan untuk perkembangan selanjutnya.
Selain
mengamatinya dari sisi budaya, essay ini juga akan membahas Chaplin dan filmnya
mengunakan teori strukturalisme yaitu berupa pengamatan berbagai simbol
yang disajikan dalam karakter Chaplin dalam film komedinya. Dengan menggunakan
teori T.S Eliot mengenai semiotika, kita dapat megkaji simbol yang sangat khas
yang ditunjukan oleh karakter Chaplin dari pakaiannya.
Jadi, simbol apa saja sih yang ada dalam Kostum dan Film
Chaplin?
Apa yang
kita ingat tentang Charlie Chaplin tentu jasnya yang terlalu sempit sehingga
membuat bahunya terlihat kecil, sepatu dan celananya yang kedodoran, topi
bowlerlnya yang kekecilan dan tongkat yang selalu ia bawa kemana-mana. Saat
melihatnya, orang awam mungkin hanya akan menyimpulkan bahwa itu hanyalah
kostum agar ia terlihat lucu. Tapi benarkah itu? Tentu saja tidak, kostum itu
sebenarnya menunjukkan arti yang lebih dalam selain pakaian seorang komedian.
Kita mulai
dari jasnya, Chaplin selalu mengenakan jas yang terlalu sempit sehingga bahunya
yang kecil terlihat makin menonjol. Ini menunjukkan sebuah karakter yang jauh
dari kata ideal. Pada masa itu di Amerika, lelaki ideal adalah lelaki yang
berdada bidang dan berbahu lebar untuk menunjukkan ke kemaskulinannya.
Penampilannya menunjukkan hal yang dari prinsip berkebalikan dari kategori maskulin di Amerika.
Pria-pria lain dimasanya pasti akan menggunakan jas yang pas, tidak terlalu
besar dan tidak terlalu sempit tapi selalu menegaskan dan menonjolkan bahunya
yang lebar.
Selanjutnya
adalah tentang topi bowler kecil, sepatu dan celana panjang yang kedodoran.
Topi bowler kecil, sepatu dan celana panjang yang kedodoran sebenarnya
merupakan style atau gaya berpakaian badut yang ada pada kelompok-kelompok
teater masa itu. Tentu saja pakaian ini menunjukkan bahwa karakter yang ia
mainkan adalah karakter yang menimbulkan tawa bagi yang melihatnya. Sangat
konyol kan melihat orang yang berperawakan kecil menggunakan pakaian yang
terlalu besar untuknya. Melihat
seseorang dalam kostum seperti itu tentu akan mengundang tawa dan membuatnya
terlihat aneh. Dalam film the kid, ia
bahkan dipanggil dengan kata “Awkward ass” atau si kikuk yang payah (Halperin: 2011).
Terakhir
adalah tongkat jalannya yang ia kenakan. Pribadi yang ia mainkan dalam setiap
film adalah sebagai gelandangan kecil; ia selalu berperan menjadi orang miskin.
Tapi tongkatnya membuat Chaplin terlihat seperti orang kaya yang agak ketinggalan jaman.
Walaupun ia terlihat seperti gelandangan, tetapi tingkah lakunya sering
terlihat lebih sopan menunjukkan bahwa ia merupakan anggota komunitas kelas
atas. Tentu ini menimbulkan keanehan tersendiri. Dalam satu karakter, kita
dapat melihat berbagai macam subkarakter yang disimbolkan melalui kostum yang
ia kenakan.
Selain
kostumnya yang menyimbolkan banyak hal, adegan-adagan yang ia mainkan juga
sebenarnya menyimbolkan berbagai macam hal seperti dalam film Modern Times.
Disana ada adegan dimana Chaplin berusaha mencari nafkah untuk menyenangkan
seorang gadis yatim piatu yang menginginkan sebuah rumah yang tenang dan indah.
Dalam film itu, Chaplin menggambarkan mimpi akan rumah impiannya dengan sangat
indah. Adegan itu sebenarnya menyimbolkan American dream atau mimpi orang
Amerika pada saat itu yang menginginkan rumah yang aman, nyaman, dan indah.
Dari
penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa komedi Charlie Chaplin adalah
merupakan fenomena budaya populer yang memilki cita rasa tinggi. Karena filmnya
tidak hanya menghibur, tetapi juga penuh makna dan simbol.
Referensi
Halperin, Amanda. 2011. Charlie Chaplin: The Tragic Comedian. Web. Cited at March 28, 2013. http://www.w3.org/1999/xhtml
Henrie, Mark C. 2004. Culture: High, Low, Middlebrow, and Popular (A journal). PDF unprinted.
Ward, Richard. 2009. Even a Tramp Can Dream: An Examination of the Clash Between
“High Art” and “Low Art” in the Films of Charlie Chaplin (A journal). University
of South Alabama. PDF Unprinted.
Wikipedia Foundation. 2013. Charlie Chaplin. Web. Cited at March 26, 2013. http://en.wikipedia.org/wiki/
Tulisan yang menginspirasi. Matur Nuwun.
ReplyDelete