Monday, May 12, 2014

Surat dari Hati




Yogyakarta,
 Senin, 18 November 2013



Dear man, the dearest man of mine

Apa kabar, Lelakiku? Baik kan? Masih pegal-pegel kecapekan setelah bolak balik Sekolah setiap hari dari pagi sampai ashar dan petangnya harus menyiapkan materi untuk esok harinya? Masih stres dengan deadline dari bos kamu? Tentu iya, tapi mungkin juga sudah berkurang ya sekarang karena tugas berat itu sepertinya hampir selesai atau malah sudah selesai. Saya senang kalau kamu baik-baik saja dan saya harap selalu begitu. Tiap hari saya do’akan selalu supaya kamu sehat terus dan diberi semangat yang ajeg. Saya do’akan pula secapek-capeknya kamu, kamu masih diberi semangat untuk nulis jurnal, menikmati lagu-lagunya favoritmu yang bikin kamu semangat, yang bikin cahaya di matamu hidup dan nggak pernah meredup; dan diberi kekuatan untuk mengangkat otot bibirmu untuk membentuk senyuman, senyuman yang memicu timbulnya senyum lain di luar sana, senyum yang bisa selalu kamu salurkan energinya untuk dirimu sendiri dan orang lain. Senyum yang saya kangenin.
Apa kabar dengan hatimu? Apakah ia baik-baik saja? Ya, aku rasa; Iya.
Saya ingin cerita nih...
Hari ini saya duduk sendiri di pinggir rel kereta, ditemani semangkok es campur dan novelnya Remy Sylado. Tidak seperti biasanya saat saya pegang buku atau bahan bacaan lainnya, hari ini saya sangat terganggu sekali dengan suara-suara klakson sepeda motor, padahal biasanya suara kereta yang melengking, gemuruh pesawat yang menggetarkan, klakson mobil yang saut sautan tak pernah mengganggu saya sama sekali; ibaratnya, saat ada suara bom meledak di telinga saya, saya nggak akan terganggu kalau saya sedang pegang buku. Tetapi, tidak hari ini, saya terganggu sekali dengan lalu lalang sepeda motor, leher saya sampai capek menoleh kekanan, kekiri. Kenapa hari ini berbeda? Saya juga tak tahu kenapa. Tapi, setelah saya coba cari-cari penyebabnya dalam diri saya, rupanya, sepertinya itu dipicu oleh hati saya yang sedang amat merindukanmu. Saya tengok kanan, kiri, berharap menemukan sosokmu diantara ribuan manusia yang hilir mudik memenuhi jalanan. Sayangnya, usaha saya tak membuahkan hasil, jangankan melihat sosokmu, siluetmu saja tak terlihat sama sekali. Terpaksa saya pulang, selain karena saya pusing melihat arus manusia yang tak henti-hentinya, pemilik warung tempat saya makan juga sepertinya sudah harap-harap cemas melihat saya yang tidak beranjak pergi sejak tadi.
Masih, masih saya berharap bisa menemukan sosokmu diantara ribuan manusia ini, tapi tetap saja, tak saya temukan. Satu langkah yang biasanya saya selesaikan dalam waktu 0,5 detik, kini saya lakukan dalam waktu 60 detik, sekali lagi dengan harapan dapat menemukan sosokmu dalam lautan manusia ini. Langkah demi langkah saya lalui sampai akhirnya saya sentuhkan tangan ini pada gagang pintu kamar, saya sadari bahwa tidak hari ini, bukan, bukan hari ini saya ditakdirkan dapat berjumpa denganmu. Saya sadari pula bahwa menemukanmu saat ini sungguh lebih sulit dari pada menemukan jarum dalam tumpukan jerami.
Saya putar kenop pintu rumah sambil tersenyum kelu, tak dapat lagi berkata-kata, hanya jerit dalam hati saja yang dapat saya dengar, jerit namamu yang menggambarkan kerinduan yang begitu memilukan. Mengerikan, saya, tak ingin mendengar jeritan itu, jeritan yang begitu mengerikan. Saya buka pintu dan terduduk didepannya, saya tutup telinga ini, tak ingin mendengar jeritan memilukan itu, tapi tidak, ia tak mau pergi, jeritan itu kian lama kian terdengar semakin melengking, semakin keras. Adakah yang bisa meredam suara itu?
Hujan! Hujan datang, ia datang untuk meredam suara jeritan pilu. Sungguh baik ia padaku. Tersenyum, kulepas tanganku dari telingaku, kulempar tas, kulempar sepatu, kusongsong bunyi hujan, kusongsong rintiknya, rinainya, kusongsong wujudnya. Saya, ingin melebur bersama hujan, saya, ingin membasuh hati ini, menghilangkan sesak, jejak, tapak kerinduan akan dirimu; saya, ingin ia luruh, jatuh bersama air hujan yang menyamarkan suara tangis, yang meredam jerit rindu dalam hari yang teriris. Hujan, ia telah mengguyur tubuh ini hingga ujung tapak kaki, begitu damai, begitu hangat ia memelukku, menyelimutiku dengan rintiknya. Saya, damai dalam tudung aliarannya. Tapi, ia bukan ibu yang selalu ada untuk anaknya. Saya, hanya satu dari sekian sosok manusia yang merasakan kedamaian dalam rintiknya. Saya, bukan anaknya; saya, bukan anak hujan yang akan selalu ia temani saat saya ingin meredam isi hati, otak, jiwa.
Ia pergi, hujan pergi dan sekali lagi saya sendiri, tak berkawan, tak berselimut, tertegun ku pandang langit yang masih menyisakan mendung. Sepertinya ia merasakan suasana hati ini, awan itu mewakili suasana hatiku yang berkabut. Kabut kerinduan, kerinduan akan sosokmu yang kini begitu jauh. Begitu jauhnya hingga membuatku bagaikan pungguk yang merindukan bulan, bagaikan kecambah yang merindukan sinar matahari.
Dalam keadaanku yang kuyub ini, tanpa alas kaki, dengan mata yang berlelehan air mata, dengan bibir ungu menahan dingin, saya ingin, berlari, menapaki batu-batu tajam penuh genangan air kotor menuju keberadaanmu, mengetuk pintumu, berharap ada secangkir teh dan lilin yang dapat menghangatkan tubuh ini disana. Tapi mungkinkah itu? hanya pintu yang tertutup, dingin dan angkuhlah mungkin yang akan menyambut, tak acuh melihat pipi yang basah oleh air mata ini, tak acuh mendengar bibir yang bergetar memanggil namamu ini. Itukah yang akan  saya hadapai? Saya takut itulah yang akan saya hadapi di sana. Saya tak cukup kuat menghadapi pintu yang tertutup.
Kubalikkan tubuhku, kembali pada sarangku, membersihkan sisa damai yang telah hujan tinggalkan di tubuhku.
Kini, hanya inilah yang dapat kulalukan, menguntai kata, merangkai kalimat, menanyakan kabarmu, berbagi cerita yang mungkin tak menarik untukmu, menyampaikan rasa rinduku padamu.
Maafkan saya yang tidak juga beranjak meninggalkanmu, maafkan saya yang masih melekat ditempat yang sama, maafkan saya yang tidak bisa melepaskan diri dari sosokmu. Terlebih dengan keadaanmu yang kini mungkin telah menjadi pria bebas dan siap meninggalkan kenangan singkat bersama saya. Maafkan saya yang masih saja menggantungimu, maafkan saya yang masih saja menempel pada kakimu padahal kau sudah ingin berjalan, berlari bahkan terbang mengejar impian yang lebih indah diatas awan sana.
Kadang, sungguh saya ingin terus berbagi cerita bahagia dan duka bersamamu, menuliskan mimpi dan menerbangkannya dalam pesawat kertas keatas awan, berjalan beriringin bersama menikmati nikmat Tuhan berupa kaki yang utuh, saling membuat ikrar tentang menghasilkan masterpiece dalam lima atau sepuluh tahun mendatang, saling menjadi guru dan murid, saling merawat kala sakit, saling melukiskan perasaan suka dan sebal dan lain sebagainya. Ya, tapi itu hanya inginku, ingin yang mungkin tak kau inginkan.
Sungguh naif sekali keinginanku, seperti anak umur sujuh belas tahun saja. Tapi bukankah, keinginan orang yang mencinta memang selalu begitu? Benar, aku menginginkan hal tersebut karena aku mencitamu, menyukamu, dan menyayangmu. Cinta, suka, dan sayang yang berbeda dari cinta, suka, dan sayang orang tua pada anaknya yang tak butuh balas, bukan cinta seperti matahari yang tak butuh balasan saat ia memberikan cahaya pada makhluk bumi. Juga cinta, suka, dan sayang yang berbeda dari cinta suka, dan sayang seorang sahabat baik yang tak perlu diungkap dalam perasaan suka dan sebal yang intimate. Tapi cinta seorang wanita pada seorang lelaki yang tumbuh dari simpati hati, dari pandangan mata, dari bahasa tubuh, dan dari opini otak; cinta yang membutuhkan balas dan cinta yang perlu ungkapan atau tanda.
Ragu, saya pun kadang merasakannya. Cinta, suka, dan sayang seperti ini memang memberikan ruang kosong berisi keraguan tentang apakah ini cinta atau sekedar nafsu. Tapi saya bisa, saya bisa menepis semuanya karena saya tahu ini bukan nafsu, bukan nafsu sesaat yang dapat hilang begitu saja saat keindahan dimata saya telah hilang. Tapi, tetap, cinta ini adalah cinta yang membutuhkan balas dan butuh ungkapan atau tanda. Hingga jika cinta ini dibiarkan tak tersentuh mungkin ia akhirnya akan berkarat dan memudar; tapi, tak akan pernah hilang. Ia tetap tinggal dalam hati menjadi serpihan kaca yang terus menusuk-nusuk, menginggalkan rasa sakit yang tak akan hilang sekaligus memberi sensasi dan tanda bahwa ia masih ada.
Apa yang saya tulis ini mungkin memalukan sekali dan tidak pantas seorang wanita ungkapkan menurutmu, tapi bukankan pecinta sejati itu tak pernah malu untuk mengungkap, mengungkap rindu padamu. Dan ia juga tak pernah ragu untuk mengungkap maaf, maaf karena telah mencintaimu. Dan, ia juga tak akan berhenti mengucap syukur karena Tuhan telah mencipta, syukur karena telah menciptakanmu.
Maafkan saya yang selalu mengusikmu dan merengek terus padamu, karena kau selau diam, dan terus-terusan menutup pintu. Saya ingin masuk, saya ingin kau mengijinkanku masuk kerumahmu, saya ingin tahu keadaanmu, dan saya ingin merasakan hangat perapian bersamamu, menikmati segelas jeruk hangat,  serta membersihkan luka-luka ditubuhmu jika ada. Jika saja kata 'andai' boleh saya ucapkan, ingin kuputar waktu, kembali pada saat jari manis ini masih dilingkari cincin yang kau selipkan setelah kau ucapkan ikrar suci itu.


Sincerely

~the woman~

No comments:

Post a Comment