Dear man, the dearest man of mine
Apa
kabar, Lelakiku? Baik kan? Masih pegal-pegel kecapekan setelah bolak balik Sekolah
setiap hari dari pagi sampai ashar dan petangnya harus menyiapkan materi untuk
esok harinya? Masih stres dengan deadline dari bos kamu? Tentu iya, tapi mungkin juga sudah berkurang ya sekarang karena
tugas berat itu sepertinya hampir selesai atau malah sudah selesai. Saya senang kalau kamu
baik-baik saja dan saya harap selalu begitu. Tiap hari saya do’akan selalu supaya
kamu sehat terus dan diberi semangat yang ajeg. Saya do’akan pula
secapek-capeknya kamu, kamu masih diberi semangat untuk nulis jurnal,
menikmati lagu-lagunya favoritmu yang bikin kamu semangat, yang bikin cahaya di
matamu hidup dan nggak pernah meredup; dan diberi kekuatan untuk mengangkat otot
bibirmu untuk membentuk senyuman, senyuman yang memicu timbulnya senyum lain di
luar sana, senyum yang bisa selalu kamu salurkan energinya untuk dirimu sendiri
dan orang lain. Senyum yang saya kangenin.
Apa
kabar dengan hatimu? Apakah ia baik-baik saja? Ya, aku rasa; Iya.
Saya
ingin cerita nih...
Hari
ini saya duduk sendiri di pinggir rel kereta, ditemani semangkok es campur dan
novelnya Remy Sylado. Tidak
seperti biasanya saat saya pegang buku atau bahan bacaan lainnya, hari
ini saya sangat terganggu sekali dengan suara-suara klakson sepeda motor,
padahal biasanya suara kereta yang melengking, gemuruh pesawat yang
menggetarkan, klakson mobil yang saut sautan tak pernah mengganggu saya sama
sekali; ibaratnya, saat ada suara bom meledak di telinga saya, saya nggak akan
terganggu kalau saya sedang pegang buku. Tetapi, tidak hari ini, saya terganggu
sekali dengan lalu lalang sepeda motor, leher saya sampai capek menoleh
kekanan, kekiri. Kenapa hari ini berbeda? Saya juga tak tahu kenapa. Tapi,
setelah saya coba cari-cari penyebabnya dalam diri saya, rupanya, sepertinya
itu dipicu oleh hati saya yang sedang amat merindukanmu. Saya tengok kanan,
kiri, berharap menemukan sosokmu diantara ribuan manusia yang hilir mudik
memenuhi jalanan. Sayangnya, usaha saya tak membuahkan hasil, jangankan melihat
sosokmu, siluetmu saja tak terlihat sama sekali. Terpaksa saya pulang, selain
karena saya pusing melihat arus manusia yang tak henti-hentinya, pemilik warung
tempat saya makan juga sepertinya sudah harap-harap cemas melihat saya yang
tidak beranjak pergi sejak tadi.
Masih,
masih saya berharap bisa menemukan sosokmu diantara ribuan manusia ini, tapi
tetap saja, tak saya temukan. Satu langkah yang biasanya saya selesaikan dalam waktu
0,5 detik, kini saya lakukan dalam waktu 60 detik, sekali lagi dengan harapan
dapat menemukan sosokmu dalam lautan manusia ini. Langkah demi langkah saya lalui sampai akhirnya saya sentuhkan tangan ini pada gagang pintu kamar, saya
sadari bahwa tidak hari ini, bukan, bukan hari ini saya ditakdirkan dapat
berjumpa denganmu. Saya sadari pula bahwa menemukanmu saat ini sungguh lebih sulit
dari pada menemukan jarum dalam tumpukan jerami.
Saya putar kenop pintu rumah sambil tersenyum kelu, tak dapat lagi
berkata-kata, hanya jerit dalam hati saja yang dapat saya dengar, jerit namamu
yang menggambarkan kerinduan yang begitu memilukan. Mengerikan, saya, tak ingin
mendengar jeritan itu, jeritan yang begitu mengerikan. Saya buka pintu
dan terduduk didepannya, saya tutup telinga ini, tak ingin mendengar jeritan
memilukan itu, tapi tidak, ia tak mau pergi, jeritan itu kian lama kian
terdengar semakin melengking, semakin keras. Adakah yang bisa meredam suara
itu?
Hujan!
Hujan datang, ia datang untuk meredam suara jeritan pilu. Sungguh baik ia
padaku. Tersenyum, kulepas tanganku dari telingaku, kulempar tas, kulempar
sepatu, kusongsong bunyi hujan, kusongsong rintiknya, rinainya, kusongsong
wujudnya. Saya, ingin melebur bersama hujan, saya, ingin membasuh hati ini,
menghilangkan sesak, jejak, tapak kerinduan akan dirimu; saya, ingin ia luruh,
jatuh bersama air hujan yang menyamarkan suara tangis, yang meredam jerit rindu dalam hari yang teriris.
Hujan, ia telah mengguyur tubuh ini hingga ujung tapak kaki, begitu damai, begitu
hangat ia memelukku, menyelimutiku dengan rintiknya. Saya, damai dalam tudung
aliarannya. Tapi, ia bukan ibu yang selalu ada untuk anaknya. Saya, hanya
satu dari sekian sosok manusia yang merasakan kedamaian dalam rintiknya. Saya,
bukan anaknya; saya, bukan anak hujan yang akan selalu ia temani saat saya ingin
meredam isi hati, otak, jiwa.
Ia
pergi, hujan pergi dan sekali lagi saya sendiri, tak berkawan, tak berselimut,
tertegun ku pandang langit yang masih menyisakan mendung. Sepertinya ia
merasakan suasana hati ini, awan itu mewakili suasana hatiku yang berkabut. Kabut
kerinduan, kerinduan akan sosokmu yang kini begitu jauh. Begitu jauhnya hingga
membuatku bagaikan pungguk yang merindukan bulan, bagaikan kecambah yang
merindukan sinar matahari.
Dalam
keadaanku yang kuyub ini, tanpa alas kaki, dengan mata yang berlelehan air mata, dengan bibir ungu menahan dingin, saya ingin, berlari, menapaki batu-batu
tajam penuh genangan air kotor menuju keberadaanmu, mengetuk pintumu, berharap
ada secangkir teh dan lilin yang dapat menghangatkan tubuh ini disana. Tapi mungkinkah
itu? hanya pintu yang tertutup, dingin dan
angkuhlah mungkin yang akan menyambut, tak acuh melihat pipi yang basah
oleh air mata ini, tak acuh mendengar bibir yang bergetar memanggil namamu ini.
Itukah yang akan saya hadapai? Saya takut itulah yang akan saya hadapi di sana. Saya tak cukup
kuat menghadapi pintu yang tertutup.
Kubalikkan
tubuhku, kembali pada sarangku, membersihkan sisa damai yang telah hujan
tinggalkan di tubuhku.
Kini,
hanya inilah yang dapat kulalukan, menguntai kata, merangkai kalimat,
menanyakan kabarmu, berbagi cerita yang mungkin tak menarik untukmu,
menyampaikan rasa rinduku padamu.
Maafkan
saya yang tidak juga beranjak meninggalkanmu, maafkan saya yang masih melekat
ditempat yang sama, maafkan saya yang tidak bisa melepaskan diri dari sosokmu.
Terlebih dengan keadaanmu yang kini mungkin telah menjadi pria bebas dan siap meninggalkan kenangan singkat bersama saya. Maafkan saya yang
masih saja menggantungimu, maafkan saya yang masih saja menempel pada kakimu
padahal kau sudah ingin berjalan, berlari bahkan terbang mengejar impian yang
lebih indah diatas awan sana.
Kadang,
sungguh saya ingin terus berbagi cerita bahagia dan duka bersamamu, menuliskan mimpi
dan menerbangkannya dalam pesawat kertas keatas awan, berjalan beriringin
bersama menikmati nikmat Tuhan berupa kaki yang utuh, saling membuat ikrar tentang menghasilkan
masterpiece dalam lima atau sepuluh tahun mendatang, saling menjadi guru dan
murid, saling merawat kala sakit, saling melukiskan perasaan suka dan sebal dan
lain sebagainya. Ya, tapi itu hanya inginku, ingin yang mungkin tak kau
inginkan.
Sungguh
naif sekali keinginanku, seperti anak umur sujuh belas tahun saja. Tapi
bukankah, keinginan orang yang mencinta memang selalu begitu? Benar, aku
menginginkan hal tersebut karena aku mencitamu, menyukamu, dan menyayangmu.
Cinta, suka, dan sayang yang berbeda dari cinta, suka, dan sayang orang tua
pada anaknya yang tak butuh balas, bukan cinta seperti matahari yang tak butuh
balasan saat ia memberikan cahaya pada makhluk bumi. Juga cinta, suka, dan
sayang yang berbeda dari cinta suka, dan sayang seorang sahabat baik yang tak
perlu diungkap dalam perasaan suka dan sebal yang intimate. Tapi cinta seorang
wanita pada seorang lelaki yang tumbuh dari simpati hati, dari pandangan mata,
dari bahasa tubuh, dan dari opini otak; cinta yang membutuhkan balas dan cinta
yang perlu ungkapan atau tanda.
Ragu,
saya pun kadang merasakannya. Cinta, suka, dan sayang seperti ini memang
memberikan ruang kosong berisi keraguan tentang apakah ini cinta atau sekedar
nafsu. Tapi saya bisa, saya bisa menepis semuanya karena saya tahu ini bukan
nafsu, bukan nafsu sesaat yang dapat hilang begitu saja saat keindahan dimata
saya telah hilang. Tapi, tetap, cinta ini adalah cinta yang membutuhkan balas
dan butuh ungkapan atau tanda. Hingga jika cinta ini dibiarkan tak tersentuh mungkin
ia akhirnya akan berkarat dan memudar; tapi, tak akan pernah hilang. Ia tetap
tinggal dalam hati menjadi serpihan kaca yang terus menusuk-nusuk,
menginggalkan rasa sakit yang tak akan hilang sekaligus memberi sensasi dan
tanda bahwa ia masih ada.
Apa
yang saya tulis ini mungkin memalukan sekali dan tidak pantas seorang wanita
ungkapkan menurutmu, tapi bukankan pecinta sejati itu tak pernah malu untuk
mengungkap, mengungkap rindu padamu. Dan ia juga tak pernah ragu untuk mengungkap
maaf, maaf karena telah mencintaimu. Dan, ia juga tak akan berhenti mengucap
syukur karena Tuhan telah mencipta, syukur karena telah menciptakanmu.
Maafkan
saya yang selalu mengusikmu dan merengek terus padamu, karena kau selau diam,
dan terus-terusan menutup pintu. Saya ingin masuk, saya ingin kau mengijinkanku
masuk kerumahmu, saya ingin tahu keadaanmu, dan saya ingin merasakan hangat
perapian bersamamu, menikmati segelas jeruk hangat, serta membersihkan luka-luka ditubuhmu jika
ada. Jika saja kata 'andai' boleh saya ucapkan, ingin kuputar waktu, kembali pada saat jari manis ini masih dilingkari cincin yang kau selipkan setelah kau ucapkan ikrar suci itu.
Sincerely
~the woman~
No comments:
Post a Comment