Aku baru saja membaca novel hidup yang
mengisahkan kehidupan dewa dan manusia. Aku merasa, aku mengenal betul cerita
ini.
“Melihatmu terbang, jauh meninggalkan
duniaku memberikan sensasi tusukan-tusukan serpihan kaca dikakiku. Saat aku
ingin melangkah mengejarmu, sakit, perih, pegal, itu yang kurasakan, selalu,
tapi juga membuatku tersadar sepenuhnya akan keadaanku. Hidup manusia dan dewa
memang selalu berbeda, kau punya sayap, aku tidak; kau bisa terbang, berjalan
pun aku sempoyongan, kau bisa membuat semua orang mengelilingimu; tersenyum
padaku pun orang ragu.
Tapi, benar, dewa memang hanya dapat
bertahan hidup diatas awan, bukan di dunia rendahan yang penuh carut marut seperti
duniaku, dunia manusia. Kau terbang, kau hilang, menyisakan kenangan yang
begitu membekas dan tak mudah dihilangkan_bukan, bukan tak mudah dihilangkan,
tapi aku yang tak sudi menghapusnya_. Begitulah jika dewa dan manusia jatuh
cinta, pada akhirnya manusia ini harus membiarkannya pergi, terbang dan hanya
melihatnya dari kejauhan. Seberapapun banyaknya serpihan kaca pada tubuhnya,
manusia, ia lah yang harus berdiam, membiarkan dewa pergi menjauh untuk
dinikmati milyaran manusia lainnya. Dewa, tidak semestinya menjadi milik
pribadi manusia. Ia adalah pribadi independen yang tak boleh disimpan untuk
sendiri.”
Apakah kisah kita adalah kisah cinta dewa
dan manusia? Kau dewanya dan aku lah manusia rendahan itu.
Membisu saja aku dalam gelap, meraba-raba
keyboard laptopku, menatap kegelapan yang tak ada habisnya. Menatap gambaran
isi hatiku yang terbungkus rapat kertas karbon pekat. Aku benci cahaya pagi,
aku benci cahaya pagi yang menyoroti luka busuk bernanah pada jiwaku ini, aku
hanya ingin gelap, gelap pekat yang bisa menyembunyikan adanya aku yang sedang
menunggu dewa untuk datang membawa secawan air suci. Air suci, air babtis yang
bisa membersihkan luka busukku. Kemudian, jika dewa tak kunjung datang, aku pun
tak perlu merepotkan orang lain akan adanya aku, tak perlu merepotkan mereka
memandangku, aku ingin gelap. Aku dan gelap, berdua, bersatu, luruh dan
menghilangkan jejak kemanusiaanku. Membiarkan dewa terus terbang jauh menembus
awan, menembus galaksi. Mendoakan dan mengharapkan kejayaan untuk dewa, tak
peduli harus ku rasakan tusukan tombak menembus jantung hingga ke punggung,
merasakan terbangun tengah malam karena mimpi buruk tentang dewa, dan terbangun
dipagi hari dengan mengutuk datangnya cahaya mentari pagi.