“Ini ada form yang
harus kalian lengkapi menjelang pembagian raport kenaikan kelas hari sabtu
depan, kalian harus isi form ini selengkap-lengkapnya ya”.
Bu Zaleha, wali kelas
kami membagikan form data tahunan yang harus kami isi. Form ini dibagikan
setiap tahunnya oleh pihak sekolah untuk memantau kondisi siswa. Yang harus
kami isikan dalam form tersebut biasanya informasi tentang kami dan orang tua
kami. Informasi yang harus kami tulis biasanya informasi terkait orang tua,
pekerjaan mereka, pendapatan tiap bulan, tanggungan orang tua dan hal-hal
semacam itu. Informasi yang sangat biasa untuk ditulis bagi tiap siswa, tapi
menjadi tidak biasa untukku. Bagaimana bisa dianggap biasa jika aku merasa
berat mengisikannya, keterangan tentang pekerjaan orang tua ini sangat
menggangguku. Bagaimana mungkin aku menuliskannya dengan jujur tentang
pekerjaan bapak. Aku benar-benar berPilinp sedang tidak masuk sekolah saat form
ini dibagikan atau aku sedang mengerjakan sesuatu hingga aku tak perlu mengisi
form tersebut.
“Ulfa, udah selese
belom? Kumpulin yok!”.
“Oh, iya, iya bentar!
Dikit lagi selese kok!”, aku gelagapan menjawab karena form isian tentang orang
tua baru ku isi sebagian. Hanya kolom nama dan tempat tanggal lahir orang tuaku
saja yang ku isi.
“Serius banget
ngisinya, apaan sih? Liat ya”. Pilin, sahabatku tiba-tiba merebut form itu dari
ku.
“Eh... jangan! Ih kamu
nih! gak sopan tauk! sini ah.!”. Kurebut kembali form itu darinya dengan paksa.
Aku memang sangat sensitif tentang hal-hal yang menyangkut tentang orang tuaku,
terlebih lagi tentang pekerjaanya. Kalau sampai dibaca, uh awas saja.
“Apa-apaan! Belum ada
separoh bilang tinggal dikit lagi. Hufh, ya udah selesein dah.” Pilin keluar
kelas sambil melambaikan form miliknya.
“Eh, satu lagi. Jangan
ngegas gitulah ya, biasa wae!” Tambahnya, karena responku yang berlebihan tadi.
Dia benar, aku
berlebihan tentang hal ini. Tapi bagaimana mungkin bisa dianggap berlebihan
jika aku memang sangat sensitif tentang orang tuaku, dan dia hampir melihatnya
tanpa ijin, keterlaluan.
“Tulis ndak ya?, kalo
ndak ditulis pasti nanti ditanya-tanyain juga sama Bu Zaleha. Ih tapi males
banget kalo harus nulis itu. Kenapa juga sih bapak ndak cari kerjaan yang lebih
keren dikit, pikirkan jugalah perasaan anakmu Pak, kalo harus ngisi form kayak
gini. Mau nulis gitu tapi kok kayaknya ndak layak banget sih, ishhh!”. Bingung,
disatu sisi ingin menuliskannya untuk menghargai pekerjaan bapak, disisi lain
aku merasa pekerjaan seperti itu tidak keren dan tidak layak untuk ditulis.
“Ul, ayok cepetan! Udah
ditunggu Bu Zaleha geh, jangan lama-lama! Habis ini kita latian teater juga loh
sama Pak Ibnu!”, Pilin kembali mengingatkan lewat jendela kelas.
“Hem!!” aku hanya
ber’hem ria.
“hufh, bismillah, gini ajalah”. Dengan seberat-berat
hatiku, ku isi form isian dengan lengkap tapi sekenanya, sambil berpikir semoga
form ini tidak dibaca oleh wali kelasku. Pikiran yang tidak mungkin.
Kulangkahkan kaki dengan berat mengumpulkan form ini ke meja wali kelasku dan
menuju ketempat biasa kami berlatih teater dengan hati gundah.
***
“Wah, penasaran berapa nilaiku,
nih!” Pilin berkomentar dengan antusias.
Yaps, hari ini adalah hari
pembagian raport yang kami tunggu-tunggu dengan hati berdebar. Tadi malam aku
sempat bicara pada bapak, meminta beliau datang untuk mengambil raportku. Sebenarnya
aku tak terlalu berpikir beliau datang kesekolah untuk mengambil raportku
karena mungkin aku akan merasa minder jika tiba-tiba bapak datang dengan
pakaian kerjanya itu. Aku akan lebih nyaman jika bapak tidak datang, walaupun
harus menunggu diurutan terakhir pengambilan raport. Sekolahku memang
mewajibkan orang tua murid untuk datang dalam pengambilan raport, dan bagi
mereka yang orang tuanya tidak datang, ia harus menunggu di urutan terakhir
pengambilan.
“Ul, Pilin, Dika... ayo
panggil teman-temannya! Siap-siap di belakang panggung ya!”. Pak Ibnu, guru teater
kami mengingatkan untuk bersiap-siap. Hari ini kami akan menampilkan sebuah teater
berbahasa Inggris diacara pembagian raport sekaligus musyawarah wali murid, dan
aku sebagai center karakter dalam teater tersebut. Ingin rasanya ada orang
tuaku yang menyaksikan ini, tapi mengingat tentang kedatangan bapak, aku jadi
mengurungkan keinginanku.
“Ul, mana orang tuamu?
Bapak datang kan?” Bu Zaleha menanyakan kedatang bapak, karena acara sudah
mulai merangkak keacara inti.
“Belum Bu, mungkin ndak
datang. Emm, maaf Bu, saya kesana dulu, udah mau tampil nih. Permisi bu”. Aku
menanggapi pertanyaan wali kelasku sekenanya, dan segera ngeloyor pergi untuk menghindari
pertanyaan-pertanyaan tentang bapak. Benar-berang timing yang tepat, saat itu juga Pak Ibnu menyuruh kami naik
kepanggung.
Seperti latihan
biasanya, saat memulai penampilan kami akan membuka penampilan dengan pengantar
singkat dariku, si tokoh center. Kutatap wajah-wajah audience yang terdiri dari para wali murid dan guru satu-persatu,
kuamati mereka untuk mengurangi rasa nervous.
Kuedarkan pandangn kesegala arah, hingga tak sengaja sudut mataku menangkap
bayangan bapak berjalan memasuki aula dengan wajah amat berseri mengenakan
kemeja abu-abunya. Begitu gagah, berseri, terpelajar, sangat kontras dengan
pekerjaannya yang membuatku minder dan sangat jauh dari apa yang kutakutkan
akan terjadi pagi ini. Pandangan beliau tertuju padaku dan cesss... beliau
persembahkan senyum banggannya padaku, putri pertamanya yang sedang berdiri
dipanggung. Aku tak tau harus berkata apa dan berekspresi bagaimana saat
bertemu beliau nanti. Haruskah aku berterimakasih atau permintaan maafkah yang
arus ku katakan pada beliau.
***
Penampilan teaterku
telah selesai, tapi nevous ini
rasanya tak mau pergi. Aku memikirkan bapak, ekspresi apa yang harus
kutampilkan nanti jika aku bertemu beliau. Hingga tiba pengumuman juara paralel
kelas pun aku tak terlalu tertarik untuk mendengarkannya.
“Ul, penasaran nggak
siapa yang masuk jadi rangking paralel?”, “Ul, kayaknya kamu masuk deh!”, “Ul,
kamu nggak denger ya?”
“Hah, apa?”
dengan wajah tanpa
ekspresi ku jawab pertanyaan teman-temanku dengan ber’hah ria. Ya, ragaku di
depan mereka tapi hati dan pikiranku melayang pada bapak. Entah apa yang
kurasa, campur aduk tak karuan.
“Bagi siswa yang
disebut namanya dalam daftar peringkat paralel kelas, silakan naik ke panggung
untuk menerima penghargaan. Menurut keputusan kepala sekolah dan...
bla..bla..bla.. adalah Mutiara Arum, Ahmad Duta Sandi Dena, Putri Dwibaruroh,
bla..bla..bla.. Ulfa Akira”. Pengumuman yang kudengar samar-samar
mengagetkanku. Rupanya aku masuk dalam daftar siswa penerima penghargaan
peringkat paralel kelas. Saat naik kepanggung, sekali lagi kulihat senyum itu,
senyum penuh kebanggan dari seorang bapak pada putrinya. Setelah acara selesai,
segera wali kelasku mendatangi bapak.
“Selamat ya Pak, Ulfa
masuk daftar peringkat parael siswa. Beruntung sekali dia, punya bapak yang
luar biasa ceria. Sesuatu yang luar biasa pasti berasal dari sesuatu yang luar
biasa pula”. Bu Zaleha menyelamati bapak, dan sambil berpaling padaku beliau menambahkan.
“Ul, tetap semangat ya,
jangan sampek nilainya turun dan jangan berpikir yang enggak-enggak tentang
bapakmu. Walau beliau sibuk, tapi beliau tetap datang buatmu. Bahkan penampilan
beliau terlihat paling ceria dan paling rapi diantara wali murid yang lain.”
Seperti tahu saja isi hatiku, beliau menyampaikannya dengan begitu jelas. Aku
hanya tersenyum menanggapi perkataan beliau.
“Iya Bu, terimakasih
sudah membimbing anak saya selama ini. Saya benar-benar bangga punya putri
seperti dia. Saya tidak bisa memberikan apa pun yang dia inginkan dan tidak
bisa membuatnya bangga dengan saya, tapi dia selalu memberikan kebanggan yang
tidak pernah putus untuk saya.” Bapak mengatakannya dengan senyum tulus dan
bangga yang hari ini selalu beliau tujukan padaku.
“Ul, pulang? Ayo, hari
ini ibu masak soto kesukaanmu loh.” Sambil merangkulku, beliau mengajakku
pulang.
Motor Supra kebanggaan
bapak pun melaju meninggalkan pelataran sekolah, membawaku dengan perasaan yang
jelas tergambar dalam hatiku. Harusnya aku tak pernah malu, beliau adalah
kebangganku yang luar biasa. Apapun yang beliau kerjakan, harusnya ku tuliskan dengan
bangga, karena aku bisa seperti ini pun berasal dari apa yang beliau kerjakan.
Ya, tahun-tahun yang akan datang akan kuisi form biodata orang tua selengkap-lengkapnya
dengan bangga dan tanpa ragu akan kutuliskan “Tukang Kayu” dalam isian nama
pekerjaan orang tuaku.
No comments:
Post a Comment