Thursday, January 3, 2013

Tentang Bapak

“Ini ada form yang harus kalian lengkapi menjelang pembagian raport kenaikan kelas hari sabtu depan, kalian harus isi form ini selengkap-lengkapnya ya”.
Bu Zaleha, wali kelas kami membagikan form data tahunan yang harus kami isi. Form ini dibagikan setiap tahunnya oleh pihak sekolah untuk memantau kondisi siswa. Yang harus kami isikan dalam form tersebut biasanya informasi tentang kami dan orang tua kami. Informasi yang harus kami tulis biasanya informasi terkait orang tua, pekerjaan mereka, pendapatan tiap bulan, tanggungan orang tua dan hal-hal semacam itu. Informasi yang sangat biasa untuk ditulis bagi tiap siswa, tapi menjadi tidak biasa untukku. Bagaimana bisa dianggap biasa jika aku merasa berat mengisikannya, keterangan tentang pekerjaan orang tua ini sangat menggangguku. Bagaimana mungkin aku menuliskannya dengan jujur tentang pekerjaan bapak. Aku benar-benar berPilinp sedang tidak masuk sekolah saat form ini dibagikan atau aku sedang mengerjakan sesuatu hingga aku tak perlu mengisi form tersebut.
“Ulfa, udah selese belom? Kumpulin yok!”.
“Oh, iya, iya bentar! Dikit lagi selese kok!”, aku gelagapan menjawab karena form isian tentang orang tua baru ku isi sebagian. Hanya kolom nama dan tempat tanggal lahir orang tuaku saja yang ku isi.
“Serius banget ngisinya, apaan sih? Liat ya”. Pilin, sahabatku tiba-tiba merebut form itu dari ku.
“Eh... jangan! Ih kamu nih! gak sopan tauk! sini ah.!”. Kurebut kembali form itu darinya dengan paksa. Aku memang sangat sensitif tentang hal-hal yang menyangkut tentang orang tuaku, terlebih lagi tentang pekerjaanya. Kalau sampai dibaca, uh awas saja.
“Apa-apaan! Belum ada separoh bilang tinggal dikit lagi. Hufh, ya udah selesein dah.” Pilin keluar kelas sambil melambaikan form miliknya.
“Eh, satu lagi. Jangan ngegas gitulah ya, biasa wae!” Tambahnya, karena responku yang berlebihan tadi.
Dia benar, aku berlebihan tentang hal ini. Tapi bagaimana mungkin bisa dianggap berlebihan jika aku memang sangat sensitif tentang orang tuaku, dan dia hampir melihatnya tanpa ijin, keterlaluan.
“Tulis ndak ya?, kalo ndak ditulis pasti nanti ditanya-tanyain juga sama Bu Zaleha. Ih tapi males banget kalo harus nulis itu. Kenapa juga sih bapak ndak cari kerjaan yang lebih keren dikit, pikirkan jugalah perasaan anakmu Pak, kalo harus ngisi form kayak gini. Mau nulis gitu tapi kok kayaknya ndak layak banget sih, ishhh!”. Bingung, disatu sisi ingin menuliskannya untuk menghargai pekerjaan bapak, disisi lain aku merasa pekerjaan seperti itu tidak keren dan tidak layak untuk ditulis.
“Ul, ayok cepetan! Udah ditunggu Bu Zaleha geh, jangan lama-lama! Habis ini kita latian teater juga loh sama Pak Ibnu!”, Pilin kembali mengingatkan lewat jendela kelas.
“Hem!!” aku hanya ber’hem ria.
“hufh, bismillah, gini ajalah”. Dengan seberat-berat hatiku, ku isi form isian dengan lengkap tapi sekenanya, sambil berpikir semoga form ini tidak dibaca oleh wali kelasku. Pikiran yang tidak mungkin. Kulangkahkan kaki dengan berat mengumpulkan form ini ke meja wali kelasku dan menuju ketempat biasa kami berlatih teater dengan hati gundah.
***

“Wah, penasaran berapa nilaiku, nih!” Pilin berkomentar dengan antusias.
Yaps, hari ini adalah hari pembagian raport yang kami tunggu-tunggu dengan hati berdebar. Tadi malam aku sempat bicara pada bapak, meminta beliau datang untuk mengambil raportku. Sebenarnya aku tak terlalu berpikir beliau datang kesekolah untuk mengambil raportku karena mungkin aku akan merasa minder jika tiba-tiba bapak datang dengan pakaian kerjanya itu. Aku akan lebih nyaman jika bapak tidak datang, walaupun harus menunggu diurutan terakhir pengambilan raport. Sekolahku memang mewajibkan orang tua murid untuk datang dalam pengambilan raport, dan bagi mereka yang orang tuanya tidak datang, ia harus menunggu di urutan terakhir pengambilan.
“Ul, Pilin, Dika... ayo panggil teman-temannya! Siap-siap di belakang panggung ya!”. Pak Ibnu, guru teater kami mengingatkan untuk bersiap-siap. Hari ini kami akan menampilkan sebuah teater berbahasa Inggris diacara pembagian raport sekaligus musyawarah wali murid, dan aku sebagai center karakter dalam teater tersebut. Ingin rasanya ada orang tuaku yang menyaksikan ini, tapi mengingat tentang kedatangan bapak, aku jadi mengurungkan keinginanku.
“Ul, mana orang tuamu? Bapak datang kan?” Bu Zaleha menanyakan kedatang bapak, karena acara sudah mulai merangkak keacara inti.
“Belum Bu, mungkin ndak datang. Emm, maaf Bu, saya kesana dulu, udah mau tampil nih. Permisi bu”. Aku menanggapi pertanyaan wali kelasku sekenanya, dan segera ngeloyor pergi untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan tentang bapak. Benar-berang timing yang tepat, saat itu juga Pak Ibnu menyuruh kami naik kepanggung.
Seperti latihan biasanya, saat memulai penampilan kami akan membuka penampilan dengan pengantar singkat dariku, si tokoh center. Kutatap wajah-wajah audience yang terdiri dari para wali murid dan guru satu-persatu, kuamati mereka untuk mengurangi rasa nervous. Kuedarkan pandangn kesegala arah, hingga tak sengaja sudut mataku menangkap bayangan bapak berjalan memasuki aula dengan wajah amat berseri mengenakan kemeja abu-abunya. Begitu gagah, berseri, terpelajar, sangat kontras dengan pekerjaannya yang membuatku minder dan sangat jauh dari apa yang kutakutkan akan terjadi pagi ini. Pandangan beliau tertuju padaku dan cesss... beliau persembahkan senyum banggannya padaku, putri pertamanya yang sedang berdiri dipanggung. Aku tak tau harus berkata apa dan berekspresi bagaimana saat bertemu beliau nanti. Haruskah aku berterimakasih atau permintaan maafkah yang arus ku katakan pada beliau.
***
Penampilan teaterku telah selesai, tapi nevous ini rasanya tak mau pergi. Aku memikirkan bapak, ekspresi apa yang harus kutampilkan nanti jika aku bertemu beliau. Hingga tiba pengumuman juara paralel kelas pun aku tak terlalu tertarik untuk mendengarkannya.
“Ul, penasaran nggak siapa yang masuk jadi rangking paralel?”, “Ul, kayaknya kamu masuk deh!”, “Ul, kamu nggak denger ya?”
 “Hah, apa?”
dengan wajah tanpa ekspresi ku jawab pertanyaan teman-temanku dengan ber’hah ria. Ya, ragaku di depan mereka tapi hati dan pikiranku melayang pada bapak. Entah apa yang kurasa, campur aduk tak karuan.
“Bagi siswa yang disebut namanya dalam daftar peringkat paralel kelas, silakan naik ke panggung untuk menerima penghargaan. Menurut keputusan kepala sekolah dan... bla..bla..bla.. adalah Mutiara Arum, Ahmad Duta Sandi Dena, Putri Dwibaruroh, bla..bla..bla.. Ulfa Akira”. Pengumuman yang kudengar samar-samar mengagetkanku. Rupanya aku masuk dalam daftar siswa penerima penghargaan peringkat paralel kelas. Saat naik kepanggung, sekali lagi kulihat senyum itu, senyum penuh kebanggan dari seorang bapak pada putrinya. Setelah acara selesai, segera wali kelasku mendatangi bapak.
“Selamat ya Pak, Ulfa masuk daftar peringkat parael siswa. Beruntung sekali dia, punya bapak yang luar biasa ceria. Sesuatu yang luar biasa pasti berasal dari sesuatu yang luar biasa pula”. Bu Zaleha menyelamati bapak, dan sambil berpaling padaku beliau menambahkan.
“Ul, tetap semangat ya, jangan sampek nilainya turun dan jangan berpikir yang enggak-enggak tentang bapakmu. Walau beliau sibuk, tapi beliau tetap datang buatmu. Bahkan penampilan beliau terlihat paling ceria dan paling rapi diantara wali murid yang lain.” Seperti tahu saja isi hatiku, beliau menyampaikannya dengan begitu jelas. Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan beliau.
“Iya Bu, terimakasih sudah membimbing anak saya selama ini. Saya benar-benar bangga punya putri seperti dia. Saya tidak bisa memberikan apa pun yang dia inginkan dan tidak bisa membuatnya bangga dengan saya, tapi dia selalu memberikan kebanggan yang tidak pernah putus untuk saya.” Bapak mengatakannya dengan senyum tulus dan bangga yang hari ini selalu beliau tujukan padaku.
“Ul, pulang? Ayo, hari ini ibu masak soto kesukaanmu loh.” Sambil merangkulku, beliau mengajakku pulang.
Motor Supra kebanggaan bapak pun melaju meninggalkan pelataran sekolah, membawaku dengan perasaan yang jelas tergambar dalam hatiku. Harusnya aku tak pernah malu, beliau adalah kebangganku yang luar biasa. Apapun yang beliau kerjakan, harusnya ku tuliskan dengan bangga, karena aku bisa seperti ini pun berasal dari apa yang beliau kerjakan. Ya, tahun-tahun yang akan datang akan kuisi form biodata orang tua selengkap-lengkapnya dengan bangga dan tanpa ragu akan kutuliskan “Tukang Kayu” dalam isian nama pekerjaan orang tuaku.

No comments:

Post a Comment