Sunday, July 21, 2024

Bagaimana Seseorang Merespons Kesedihan menurut Freud

(dokumentasi pribadi)


Dua orang wanita dari pasangan yang berbeda sama-sama telah ditinggalkan oleh suaminya karena sebuah kecelakaan tragis. Kedua wanita tersebut sama-sama mengalami sebuah kehilangan dan kesedihan yang mendalam karena telah ditinggalkan oleh orang yang sangat dicintainya, orang yang sama-sama memiliki keterikatan kuat pada seluruh hidupnya.

Pada kasus wanita satu, setelah mengalami kesedihan mendalam, ia mulai menyadari tentang sebuah kewajaran pada sebuah proses kematian, ia kemudian mencoba bangkit dan mulai menata hidupnya, menyadari bahwa ia membutuhkan bantuan orang lain untuk membuatnya benar-benar sembuh, ia menceritakan kesedihannya pada orang yang ia percaya, meluapkan rasa sedihnya pada hal yang lebih positif, menata ulang hidupnya dan membebaskan egonya dari rasa sedih, membuatnya bebas kembali dari belenggu kesedihan.

Berbeda dari kasus wanita pertama yang berhasil membebaskan dirinya dari rasa sedih, wanita kedua memeluk rasa sedih tersebut, menjadi bagian dari dirinya hingga rasa sedih menyerapnya, menahannya dalam dunia kesedihan tersebut. Membuatnya membenci dirinya sendiri, menyalahkan dirinya sendiri atas kematian yang terjadi pada suaminya, dan merasa pantas mendapatkan hukuman untuk dirinya. Ia tidak bisa bangkit. Ia kehilangan minat pada cinta dan hidupnya.

***

Dua hal tersebut adalah ilustrasi cara bagaimana seseorang merespons kehilangan dan kesedihan. Di kasus pertama, Freud dalam jurnalnya Mourning and Melancholia menyebutkan sebagai mourning (kesedihan atau kedukaan); lalu pada kasus kedua, Freud menyebutnya sebagai melancholia (Melankolia) atau dapat kita kenal sebagai depresi.

Setiap orang pasti pernah merasakan kesedihan. Lebih jauh lagi merasakan sebuah duka lara yang terasa lebih dalam. Biasanya hal tersebut dipicu rasa kehilangan yang teramat dalam terhadap seseorang atau sesuatu yang sangat dicintai itu bisa berarti seseorang, negerinya, atau mungkin idealismenya.

Jurnal Freud tentang duka dan melankolia bisa dikatakan sebagai jurnal personal tentang bagaimana dirinya merespons duka yang dia alami. Saat itu secara bertubi-tubi, masalah terus menghantamnya, mulai dari tewasnya dua anak laki-laki dan menantunya dalam perang dunia pertama, lalu anak perempuannya turut menyusul karena flu Spanyol, kemudian cucunya juga turut meninggalkannya karena tuberkulosis (TBC), dan ia sendiri juga mengalami kanker rahang yang membuat kesehatan terus memburuk (Knutsen viatidsskriftet.no/en/2020).

Freud pendapat bahwa kesedihan dan melankolia adalah respons yang sama-tapi-tak-serupa saat seseorang mengalami kehilangan. Menurut Freud kesedihan bukanlah hal yang memerlukan pengobatan khusus atau bersifat patologikal karena kesedihan dapat sembuh dengan sendirinya atau dengan bantuan orang lain. Dan saat kan sedih Itu sudah berlalu seseorang akan menjadi lebih bebas dan tidak lagi terkekang dengan perasaan sedihnya.

Berbeda dengan melankolia, depresi yang terjadi dalam kondisi melankolia itu hampir tidak bisa pulih karena kondisinya lebih rumit. Umumnya ego seperti tertahan dalam kesedihannya yang membuat ego menarik semua energi fisik seorang ke dalam alam bawah sadarnya untuk mencegahnya masuk ke alam sadar. Dalam hal ini Freud menyebutnya sebagai antichatexist.

Dalam kondisi sedih seseorang mungkin akan menarik diri dari dunia luar membuat dia tidak merasa tertarik lagi dengan cinta dan kehidupan, tapi sampai di situ saja. Berbeda dari melankolia, dalam kondisi melankolia, seseorang mengalami Kehilangan rasa ketertarikan terhadap cinta dan kehidupan dan juga mengalami penurunan harga diri sehingga dia menghukum dirinya sendiri melampiaskan semua kesedihan, kekesalan, dan kesalahan terhadap dirinya sendiri, merasa dirinya tidak berharga, merasa apa yang terjadi itu semua disebabkan olehnya dan ia pantas mendapatkan hukuman karenanya.

Distinguished mental feature of melancolia are profoundly painly dejectful, cessation of interest in the outside world, loss the capacity to love, inhibition of all activity, and lowering of self-regarding feelings to a degree that finds in utterance to the self-reproaches and the self-revilings, and culminates in a delusional expectation of punishment.

Trans: Ciri-ciri mental yang menonjol dari melankolia adalah rasa sedih yang sangat mendalam, berhenti tertarik pada dunia luar, kehilangan kemampuan untuk mencintai, terhambatnya semua aktivitas, dan rendahnya perasaan mementingkan diri sendiri hingga ke tingkat yang bisa kita lihat dalam ucapan yang mencela diri sendiri dan rasa bersalah, mencerca diri sendiri, dan berpuncak pada menginginkan hukuman secara delusional.

Freud tidak menguraikannya dengan lebih rinci mengapa seseorang bisa merespons kesedihan dengan cara yang berbeda dalam jurnal tersebut. Namun Kanwal berpendapat bahwa perbedaan respons ini lebih merupakan masalah destabilisasi sistem pertahanan diri dalam mengelola perasaan duka yang terdiri dari pengalaman interpersonal yang terintegrasi dalam dirinya.

Note: Artikel ini juga pernah diunggah di akun opinia penulis dengan judul dan isi yang sama.

Daftar Pustaka:

Freud, Sigmun. (1914-1916). On the History of the Psycho-Analytic Movement. London: Paper on Metapsychology and Other Works. Volume XIV. Hal 243-258

Knutsen, Tormod. (30 Maret 2020). The Dynamic of Grief and Melancholia. Essay. Norwegia: via website https://tidsskriftet.no/en/2020/03/essay/dynamics-grief-and-melancholia

Kanwal GS. (2016). Kematian: Bab terakhir. I: Akhtar S, Kanwal GS, red. Dukacita. Pengalaman Pribadi dan Refleksi Klinis. New York dan London: Routledge, 2016: 169–90.


Wednesday, May 21, 2014

A Normal Human Thing


Menatap balik hidup saya selama dua puluh tahun ini rasanya membosankan sekali. Sepertinya tak ada yang bisa dibanggakan sama sekali. Bayangkan saja, selama dua puluh tahun hidup di dunia, belum pernah sekali pun saya dapat piala, belum pernah sama sekali jabat tangan dengan orang penting, belum pernah sama sekali pergi keluar negeri atau keluar kota sebagai utusan sekolah atau kampus, belum pernah juga nyanyi di depan banyak orang pakai gitar atau piano (menurut saya itu keren buanget, sudah membayangkan bisa seperti itu dari zaman SMP tapi nggak pernah kesampaian karena saya nggak bisa nyanyi, apalagi main gitar). Sekali-kalinya keluar daerah ya hanya buat main ke rumah keluarga atau jalan-jalan sama teman dan study tour dulu sama masih SMA. Aduh duh, hidup kok datar sekali ya. Padahal teman SMP saya ada yang sudah bolak balik keluar negeri, teman SMA saya... sepertinya belum ada, dan teman kuliah saya juga sudah pada bolak balik keluar negeri (walaupun pol-polnya cuma di Malaysia, Singapura, dan Thailand, tapi kan tetap saja luar negeri ha..ha..ha..). Sebaliknya, saya, pulau Jawa saja belum semuanya ke-injak. Tak apa lah, mungkin belum rezeki, lagian dipikir-pikir, kalau ke luar negeri, ngapain ya di sana? Apa iya cuma foto-foto dan cari gantungan kunci buat oleh-oleh.

Friday, May 16, 2014

Dracula Vs. Vampire (Perbedaan Dacula dan Vampir)

Dracula dan Vampir adalah makhluk yang sama-sama berasal dari manusia mati yang darahnya teraliri venom vampir. Mereka sama-sama makhluk yang disebut sebagai Undead (yang tidak mati). Jadi, aslinya, vampir dan dracula itu sama atau beda? Well, mudahnya gini, Dracula itu ya vampir, tapi vampir belum tentu Dracula. Tapi, lebih tepatnya, mereka itu agak berbeda. Bukan berbeda dalam hal bentuk, tapi beda dalam hal kemampuan. Karena Dracula itu di gambarkan sebagai Undead yang kaya raya dan sangat hebat. Sedangkan Vampir? Ah, sama. Lebih Jelasnya, mari bahas asal usulnya saja.


Dracula adalah sebuah tokoh fiksi karangan Bram Stoker dalam novelnya yang berjudul Dracula (1897). Dracula adalah nama dari seorang sesosok vampir yang di gambarkan sangat tangguh. Dalam novel tersebut, nama Dracula lebih di kenal dengan sebutan Count Dracula. Ia adalah seorang bangsawan Eropa yang bertempat tinggal di Transylvania, Rumania. Dalam novel tersebut ia di gambarkan sebagai makhluk yang bentuk tubuhnya sama seperti manusia, hanya saja kulitnya sangat pucat, giginya sangat putih, bibirnya merah, hidungnya mancung, tinggi menjulang, sehingga terlihat 'lancip' (penampilannya sangat menonjol, karena sangat berbeda dengan manusia normal). Ia juga sangat kuat, dingin, dan tubuhnya sekeras baja.

His hand actually seemed like a steel vice that could have crushed mine if he had chosen.
Sebenarnya, tangannya seperti tang baja yang bisa saja meremukkan tanganku jika ia mau.
(Stoker, 1897: 17)